Total Tayangan Halaman

Senin, 23 April 2012

tanah ultisol


2.1  Karakteristik Ultisol dan Permasalahnnya
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang mempunyai sebaran terluas di  Indonesia yaitu mencapai 45.794.000  ha atau sekitar 25 % dari total luas daratan Indonesia. Tanah ini tersebar di Kalimantan (21.938.000 ha), di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung ( Subagyo et al, 2004).  Menurut Radjagukguk (1983) tanah-tanah bermasalah di Indonesia antara lain ordo Oxisol, ordo Ultisol, dan Ordo Histosol. Dari 50 juta Ha lahan bermasalah tersebut 38,4 juta ha ditempati oleh Ultisol. Diantaranya 1,023 juta ha lahan tersebut terdapat di Sumatera Barat, atau sekitar 6,1 % dari seluruh tanah Ultisol di Indonesia (LPT, 1979).                                                                                   Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara (Sri Adiningsih dan Mulyadi,1993). Menurut Hardjowigeno (2003), Ultisol mempunyai sifat kimia yang kurang baik yang dicirikan oleh kemasaman tanah  yang tinggi dengan      pH < 5, kandungan bahan organik tanah rendah sampai sedang, kandungan hara N, P, K, Ca, Mg dan Mo rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) kecil dari            24 me/100 g. Sebaliknya kelarutan Al, Mn, dan Fe sering tinggi, sehingga sering meracun bagi tanaman. Hal itu disebabkan oleh tingkat pelapukan yang sudah lanjut serta curah hujan yang tinggi, sehingga unsur hara tercuci ke lapisan bawah. Di samping itu juga disebabkan oleh bahan induk mineral tanah yang miskin mineral primer yang mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman.          Soepardi (1983) menyatakan bahwa kandungan N Ultisol < 0,2 % P tersedia < 1 ppm, Ca dan Mg < 3 me/ 100g, dan kandungan bahan organik rendah. Oleh karena itu, untuk mempertahankan bahan organik tanah perlu dilakukan pengembalian sisa-sisa tanaman.  Hakim (1982) mengemukakan bahwa pupuk hijau merupakan salah satu sumber bahan organik yang baik untuk penyubur tanah Ultisol.                                                                                                            Kemasaman tanah Ultisol selain disebabkan oleh curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan basa-basa mudah tercuci, juga disebabkan oleh hasil dekomposisi mineral aluminium silikat yang membebaskan ion aluminium (Al+3). Ion tersebut dapat dijerap kuat oleh koloid tanah dan bila dihidrolisis akan menyumbangkan ion H+, akibatnya tanah menjadi masam ( Nyakpa, Lubis, Pulung, Amrah, Munawar, Hong, Hakim, 1988). Proses hidrolisis Al+3 dapat dilukiskan sebagai berikut :
Al+3 + H2O                       | Al (OH) | 2+  +  H+
Perlakuan yang tepat untuk mengurangi kemasaman Ultisol sekaligus meningkatkan  kadar haranya adalah dengan memberi kapur dan pupuk buatan yang cukup. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Hal tersebut diharapkan juga dapat meningkatkan kegiatan jasad renik dalam tanah (Hakim, Nyakpa, Lubis, Nugroho, Saul, Diha, Hong, Bailey, 1986).                Hakim et al (1986) telah menuliskan reaksi kapur dalam menaikkan pH yang ditandai oleh pembebasan OH adalah sebagai berikut :                                                CaO + H2O     Ca2+ + 2OH-                                                                                 CaCO3 + H2O →  Ca2+ + HCO3- + OH-                                                          Hakim (2006) menegaskan bahwa kapur merupakan pengendali kemasaman tanah yang paling tepat karena reaksinya sangat cepat dan menunjukkan perubahan kemasaman tanah yang sangat nyata.  Pemberian kapur setara 1 x Al dd sudah dapat menaikkan pH sehingga 5,3 – 5,4 dan menurunkan kejenuhan Al sampai < 30 %.  Pemberian kapur setara 2 x Al dd dapat menaikkan pH sampai 5,9 – 6,0 dan kejenuhan Al turun hingga 3 – 5 %. Kondisi tersebut cocok untuk semua jenis tanaman pangan.                                                            Berkaitan dengan kemasaman tanah pada Ultisol yang disebabkan oleh kelarutan Al, kelarutan besi (Fe) dan mangan (Mn) juga cukup tinggi. Keberadaan kation Al, Fe dan Mn pada tanah masam menyebabkan unsur  fosfor (P) kurang tersedia bagi tanaman. Akibatnya tanaman sering menunjukkan kekurangan unsur P pada tanah tersebut. Di samping itu, unsur molibdenum (Mo) kelarutannya sangat rendah pada tanah masam. Unsur ini dibutuhkan tanaman legum dalam pembentukan bintil akar untuk menambat nitrogen (N). Akibatnya, penambatan N menjadi terhambat pada tanah bereaksi masam (Nyakpa et al, 1988).             Ultisol miskin hara terutama unsur N, P dan K. Oleh karena itu, Ultisol memerlukan pupuk yang banyak. Dengan pengapuran dan pemupukan yang banyak, Ultisol dapat lebih produktif. Akan tetapi harga pupuk semakin mahal. Oleh karena itu pemakaian pupuk harus dihemat tanpa menurunkan produksi (Hakim, 2006).                                                                                                  Tanah ultisol  pada dasarnya mempunyai struktur yang baik, tapi tidak optimal dalam kemampuan memegang air, sehingga cepat kehilangan air sehingga tanah mengalami dehidrasi.  Namun jika tanah ini dikelola dan diperlakukan secara tepat, maka tanah ini bisa produktif (Soepardi, 1983).  Perlakuan yang bisa kita usahakan terhadap tanah ultisol adalah cara penetralan kadar asam sekaligus meningkatkan kadar haranya.  Salah satu cara untuk meningkatkan kadar hara tanah ini adalah dengan memberi kapur dan pupuk buatan yang cukup. Kadar asam ultisol dinetralkan dengan pemberian kapur. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah. Selanjutnya juga diharapkan meningkatkan kegiatan jasad renik dalam tanah (Hakim et al,1986).                                   Berkaitan dengan kemasaman tanah pada Ultisol yang disebabkan oleh kelarutan Al, kelarutan besi (Fe) dan mangan (Mn) juga cukup tinggi. Keberadaan kation Al, Fe dan Mn pada tanah masam menyebabkan unsur  fosfor (P) kurang tersedia bagi tanaman. Akibatnya tanaman sering menunjukkan kekurangan unsur P pada tanah tersebut. Di samping itu, unsur molibdenum (Mo) kelarutannya sangat rendah pada tanah masam. Unsur ini dibutuhkan tanaman legum dalam pembentukan bintil akar untuk menambat nitrogen (N). Akibatnya, penambatan N menjadi terhambat pada tanah bereaksi masam (Nyakpa et al, 1988).                        Ultisol miskin hara terutama unsur N, P dan K. Oleh karena itu, Ultisol memerlukan pupuk yang banyak. Dengan pengapuran dan pemupukan yang banyak, Ultisol dapat lebih produktif. Akan tetapi harga pupuk semakin mahal. Oleh karena itu pemakaian pupuk harus dihemat tanpa menurunkan produksi (Hakim, 2006).


ABU SEKAM DAN PUPUK KANDANG UNTUK TANAH SAWAH


PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN ABU SEKAM DAN PUPUK KANDANG PADA TANAH SAWAH INTENSIFIKASI TERHADAP KETERSEDIAAN POSFOR


OLEH :
LUSY HEILDA MAILANI
0810211032


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2012


KATA PENGANTAR


            Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang selalu melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian ini dengan judul ” Pemanfaatan Campuran Abu Sekam dan Pupuk Kandang Pada Tanah Sawah Intensifikasi serta Pengaruhnya Terhadap Posfor Tersedia”. Dimana Proposal penelitian ini disusun sebagai pedoman untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan skripsi yang menjadi salah satu syarat  untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Universitas Andalas.
         Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Darmawan,MSc sebagai pembimbing I dan Dr. Ir. Syafrimen Yasin, MS.MSc sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan bantuan dan pengarahannya. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan proposal ini.
         Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini jauh dari kesempurnaan dan masih perlu banyak perbaikan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan proposal ini, sehingga bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian.


Padang, Januari 2012                                                                                            L.H.M




DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……………………………………………………………        i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..        ii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………..       iii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..      iv
I.       PENDAHULUAN……………………………………………………………       1
1.1  Latar Belakang…………………………………………………………….
1.2  Tujuan……………………………………………………………………..
1.3  Hipotesis…………………………………………………………………..
II.  TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………...       5
2.1. Bentuk Fosfor dan Ketersediaannya Pada Tanah Sawah………………..        5
2.2. Pengaruh Abu Sekam Terhadap Posfor Tersedia……………….………         6
2.3. Pupuk Kandang Sapi Sebagai Sumber Bahan Organik dan Hara………         7
2.4. Padi Sawah dan Pertumbuhannya……………………………………….        8

III. BAHAN DAN METODA….………………………………………………..      10
3.1. Waktu dan Tempat………………………………………………………      10
3.2. Bahan dan Alat…………………………………………………………..      10
3.3. Rancangan Penelitian……………………………………………………       10
3.4. Pelaksanaan Penelitian…………………………………………………..       11
3.5. Pengamatan………………………………………………………………      12

IV.  PERKIRAAN BIAYA……………………………………………………….    14
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….     15
LAMPIRAN                                                                                                                    

DAFTAR TABEL


Tabel                                                                                                                           Halaman                 
1.      Tabel  Tahap pemupukan yang digunakan dalam penelitian…………………            11
2.      Tabel Kriteria Penilaian sifat kimia tanah…………………………………….              25




DAFTAR LAMPIRAN


Lampiran                                                                                                       Halaman
1.       Jadwal kegiatan penelitian............................................................                  17
2.       Alat yang digunakan di lapangan dan laboratorium selama
penelitian……………………………………………………….................... 18
3.       Bahan yang digunakan selama penelitian untuk analisis tanah
..... dan tanaman di laboratorium.......................................................................... 19
4.       Denah  penelitian di lapangan .....................................................                   20
5.       Prosedur analisis tanah di laboratorium........................................                  21
6.       Prosedur analisis tanaman di laboratorium...................................                  23
7.       Kriteria penilaian sifat kimia tanah...............................................                  25
8.       Deskripsi Tanaman Padi Varietas IR-42





I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
              Kebutuhan akan beras sebagai komoditi pangan utama semakin hari terus meningkat namun masalah ketersediaannya menjadi hal yang sangat urgensi untuk ditanggulangi. Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut, pemerintah mengandalkan pulau Jawa sebagai pemasok beras utama, karena sekitar 50% total luas sawah beririgasi terdapat di pulau ini. Namun demikian, ketergantungan ini tidak lagi bisa di andalkan mengingat laju alih fungsi lahan sawah di Jawa mencapai 7000 hektar per tahun. Untuk itu berbagai upayapun dilakukan,baik secara ekstensifikasi dengan membuka lahan baru di luar pulau Jawa maupun upaya Intensifikasi. Dimana jalan Intensifikasi bertujuan meningkatkan hasil tiap satuan luas suatu areal melalui penerapan teknologi baru, diantaranya dengan pemberian input hara ketanah dan cara pengelolaan yang tepat melalui berbagai program yang dicangangkan,diantaranya adalah program Panca usaha tani (Sumaryanto, 2001).
Sejak diterapkannya program intensifikasi padi sawah yang digalakkan dalam proyek-proyek Bimas dan Inmas pada awal PELITA I (1969), pemakaian pupuk buatan di Indonesia terutama yang mengandung unsur hara makro nitrogen  (N), fosfor (P), kalium (K), meningkat dengan cepat.  Melalui program-program tersebut Indonesia telah mampu merubah statusnya dari negara pengimpor beras menjadi negara yang berswasembada pangan khususnya beras pada tahun 1984.  Namun, keberhasilan dalam berswasembada beras ini tidak lama bertahan.  Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.  Salah satunya adalah penggunaan pupuk yang intensif dan tidak berimbang ( Suriadikarta dan Hartatik, 2003)
            Penggunaan pupuk P secara terus-menerus pada padi sawah intensifikasi akan menimbulkan bahaya penumpukan P pada tanah sawah tersebut. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan (1988) melaporkan  bahwa terdapat kejenuhan P di beberapa daerah intensifikasi yang diperkirakan  untuk Indonesia mencapai 2,5 juta ha, akibat pemupukan P yang terus-menerus setiap  musim tanam.  Soepardi (1983) juga menjelaskan bahwa hanya 30-50 % dari P yag diberikan pada tanah tersedia untuk tanaman, selebihnya tertinggal ditanah sebagai residu atau hanyut melalui aliran permukaan sehingga membahayakan kehidupan biota sungai serta danau.
Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kebiasaan petani memberikan pupuk P secara berlebihan.  Sebagai contoh, di Sumatera Barat dari 232 contoh tanah sawah yang dianalisis pada tahun 1993/1994 ditemukan sebagian besar (57,2 %) sawah irigasi mempunyai kadar P tanah antara 10-60 ppm, hampir 10 % mempunyai kadar P tersedia antara 60-100 ppm dan hanya sekitar 32,8 % saja yang berkadar P tanah di bawah 10 ppm (Taher dan Zaini, 1991 cit Burbey, Abdullah, Mawardi, Taher, Imran, 2000).  Bila pupuk P diberikan pada setiap musim tanam dengan takaran sesuai dengan anjuran atau melebihi takaran anjuran dalam jangka lama akan menyebabkan terjadinya penimbunan P ditanah, sehingga musim-musim berikutnya tanaman padi tidak tanggap lagi terhadap pemupukan P (Desnelly, 1991).
Kehilangan P dari tanah sawah akibat panen relatif kecil.  Dari jumlah yang diberikan hanya sekitar 10-20 % yang terserap tanaman, sedangkan sisanya sekitar 80-90 % akan menumpuk di tanah sebagai residu.  Dengan demikian  disinyalir unsur P pada daerah yang telah melakukan intensifikasi secara terus menerus selama ± 8 tahun diperkirakan sudah terjadi akumulasi P pada koloid-koloid tanah (Rushadi, 1985).  Oleh sebab itu, diperlukan cara-cara atau teknologi yang dapat meningkatkan efesiensi penggunaan pupuk P salah satunya adalah dengan pemanfaatan bahan organik.
Belakangan ini petani sudah mengabaikan pupuk organik  karena sudah terbiasa dengan pupuk buatan. Akan tetapi, harga pupuk buatan terlalu mahal, oleh karena itu bahan organik harus digunakan kembali untuk mengurangi aplikasi pupuk buatan. Pengelolaan bahan organik tanah merupakan salah satu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman yang antara lain dapat memperbaiki fisik media tumbuh akar dan meningkatkan efisiensi pemupukan. Dimana bahan organik juga dapat meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara sehingga meningkatkan efisiensi pemupukan P (Suhartatik dan Sismiyati, 1999 cit Pramono, 2008).

Sumber bahan organik yang berpotensi digunakan adalah timbunan sisa tumbuhan atau binatang yang sebagian atau seluruhnya telah mengalami dekomposisi. Untuk tumbuhan,pada umumnya bahan organik ini berasal dari tanaman-tanaman tingkat rendah ataupun tanaman tingkat tinggi yang mudah mengalami dekomposisi serta beberapa jenis biomassa yang dihasilkan saat panen.
Pemanfaatan kembali sisa-sisa pertanian sebagai bahan masukan dalam produksi disektor pertanian belum banyak mendapat perhatian yang khusus. Sebagian besar dari biomassa yang dihasilkan setelah dimanfaatkan hasil utamanya, selebihnya dibuang sebagai limbah. Disektor pertanian tanaman pangan, produksi yang dihasilkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan biomassa yang dihasilkan. Menurut laporan Winarno (1985), pada tanaman padi dari 100 kg gabah kering hanya menghasilkan 29,9 kg beras dan sisanya dalam bentuk limbah yang terdiri dari 55,6 kg jerami, 9,9 kg sekam dan 3,6 kg bekitul.
Dewasa ini jerami padi telah mulai dimanfaatkan orang terutama untuk keperluan pakan ternak, sebagai mulsa, bahkan ada yang dikembalikan ke tanah setelah dijadikan kompos. Sedangkan sekam biasanya ditumpuk saja ditempat penggilingan padi, sehingga membentuk bukit-bukit kecil.  Untuk mengurang onggokan sekam ini, biasanya dilakukan pembakaran.  Mengingat banyaknya unsur hara yang terangkut panen maka diduga sekam ini mengandung unsur-unsur hara, sehingga perlu dikembalikan ke tanah.  Dengan adanya proses pembakaran tersebut maka proses perombakan dapat dipercepat, sehingga unsur hara yang dikandungnya cepat tersedia.
Berdasarkan hasil analisis abu sekam yang dilakukan oleh Sigit (1984), didapat bahwa limbah ini mengandung sejumlah hara dengan komposisi sebagai berikut : 0,15% nitrogen,  0,16% posfor,  1,85% kalium,  0,49% kalsium,  1,05% C-organik,  68,7%  SiO2 dan C/N 36. Mengingat besarnya unsur-unsur yang dikandung abu sekam, maka sangat perlu sekali pemanfaatannya kembali disektor pertanian.  Disamping sebagai sumber hara bagi tanaman padi, juga sebagai bahan organik yang dapat mengurangi sorpsi P pada tanah, sebab abu sekam mengandung silikat yang cukup tinggi, yang akan mampu melepaskan posfat oleh tanah sehingga menjadi tersedia untuk tanaman. 
Alternatif selanjutnya yang berpotensi sebagai bahan organik yang bersumber dari hewan adalah pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan salah satu hasil sampingan pertanian yang penting. Satyamidjaja (1986) menyatakan bahwa pupuk kandang merupakan kotoran padat dan cair dari hewan ternak yang tercampur dengan sisa makanan ataupun alas kandangnya. Menurut Hardjowigeno (2003) pupuk kandang juga dapat meningkatkan meningkatkan kesuburan tanah. Pada beberapa tanah masam, pupuk kandang dapat meningkatkan pH tanah dan menetralkan Al dengan membentuk komplek Al organik. Soepardi (1983) menyatakan bahwa pemanfaatan pupuk kandang juga merupakan salah satu cara untuk mencegah kehilangan hara dari pencucian, karena pupuk kandang akan bertindak sebagai penyerap kation yang dapat diambil tanaman, sehingga tindakan ini penting artinya terutama di daerah tropis basah seperti Indonesia sehubungan dengan apakah pupuk kandang juga dapat meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman padi pada sawah intensif.
Bertitik tolak dari masalah-masalah serta potensi yang dikemukakan, maka penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian mengenai Pemanfaatan Campuran Abu Sekam dan Pupuk Kandang Pada Tanah Sawah Intensifikasi serta Pengaruhnya Terhadap Posfor Tersedia.

1.2 Tujuan
      Tujuan  dari penelitian ini adalah untuk mengkaji potensi abu sekam dan kotoran ternak sapi sebagai sumber bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah sawah intensif, dalam hal ini adalah melihat pengaruhnya terhadap kandungan Posfor tersedia tanpa harus berdampak negatif terhadap lingkungan. Luaran, Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan nyata dalam mengatasi masalah rendahnya produksi sawah akibat ketersediaan hara dan memaksimalkan penggunaan biomassa yang selama menjadi limbah sebagai  sumber bahan organik yang cukup berpotensi.

1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini antara lain adalah :
a.       Campuran Abu Sekam dan Pupuk Kandang berpengaruh terhadap kandungan Posfor tersedia pada tanah sawah Intensif
b.      Campuran Abu Sekam dan Pupuk Kandang berpengaruh terhadap produksi tanaman padi

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hubungan antara sawah intensifikasi dengan kandungan Posfor dalam tanah
            Posfor ( P ) merupakan hara makro esensial untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Tanaman akan mengkonsusmsi P dalam bentuk H2PO4¹‾ , HPO42- ,PO43- (Hakim, Nyakpa, Lubis, Nugroho, Saul, Diha, Hong dan Bailey. 1986). Selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan bentuk-bentuk senyawa tersebut akan ditentukan oleh nilai pH tanah. Pada tanah masam dijumpai H2PO4 yang dominan dan terus kebentuk HPO4 sedangkan pada tanah alkalin dijumpai bentuk PO4.
            Menurut Soepardi (1983), suatu hal yang menguntungkan dari sifat P adalah sangat stabilnya P di tanah, sehingga kehilagan P akibat pencucian relatif tak pernah terjadi. Tetapi hal ini pulalah yang menyebabkan kelarutan P dalam tanah sangat rendah yang konsekuensinya ketersediaan P untuk tanaman relatif sangat sedikit.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan P di tanah yaitu : ( 1 ) tipe liat, (2) bahan organik, ( 3 ) waktu, ( 4 ) temperatur, dan ( 5 ) pH tanah (Hakim et al, 1986). Sedangkan Soepardi (1983) menambahkan bahwa ketersediaan P organik tanah ditentukan oleh : pH tanah, Fe, Al, Mn yang terlarut, ketersediaan Ca, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik, dan kegiatan jasad mikro.
            Menurut Nyakpa, Lubis, Pulung, Amarah, Munawar, Hong, dan Hakim (1985), bahwa P yang diberikan ke dalam tanah tidak semuanya dapat tersedia bagi tanaman, sabahagian mengalami retensi dan fiksasi. Retensi adalah bentuk P yang tersedia di dalam tanah dan tersedia bagi tanaman. Sedangkan terfiksasi adalah bentuk P yang tidak tersedia bagi tanaman.
            Soepardi (1983) menjelaskan bahwa hanya 30 – 50 % dari P yang diberikan pada tanah secara intensif tidak efektif tersedia untuk tanaman, sehingga sebagian besar tertinggal sebagai residu. Hal ini sesuai dengan pendapat Rinsema (1983), bahwa pemberian pupuk P yang berlebihan dari yang dibutuhkan tanaman akan memberikan pengaruh residu pada tanaman berikutnya. Masalah ini juga didukung oleh Ahmad (1989), dari hasil penelitian memnunjukkan bahwa memang terdapat akumulasi P di tanah kering dan tanah sawah bila tanah-tanah tersebut dilakukan pemupukan secara terus-menerus dengan pupuk-pupuk yang mengandung P. Pengaruh pemupukan secara terus-menerus dilaporkan oleh Kamprath, 1967 cit . Lembaga Penelitian Tanah (1974), bahwa hal ini masih dapat terlihat walaupun sudah mencapai 50 tahun dan pengaruh pemupukan berat dapat terlihat 7 sampai 9 tahun berikut.
            Pada tanah sawah perubahan pengelolaan dari cara tradisional kepada sistem intensifikasi seperti pemakaian pupuk buatan secara intensif serta pengelolaan tanah yang dilakukan tanpa pemberaan mengakibatkan pengembalian bahan organik secara alami tidak terjadi lagi. Hal ini dapat mempengaruhi sifat kimia dan fisika tanah (Sanchez, 1993).

2.2  Pengaruh Abu Sekam Terhadap Posfor Tersedia
Percobaan yang menggunakan abu sekam dan sekam sebagai faktor perlakuan sudah banyak dilakukan orang, dengan hasil yang bervariasi.  Hal ini dapat dimengerti bahwa bahan ini dapat berfungsi sebagai pupuk alam karena adanya unsur-unsur lain yang dikandungnya.  Hal ini sesuai dengan pendapat Pender (cit. Soepardi, 1979) bahwa sekam merupakan salah satu pupuk alam yang cukup berarti, tetapi untuk pengaplikasian pada masyarakat tani Indonesia masih sedikit yang memanfaatkan.
Suseno (1981) mengatakan bahwa pemberian limbah pertanian dalam bentuk abu (sisa pembakaran) ke dalam tanah dapat memberikan beberapa keuntungan, dibandingkan dengan bentuk segar.  Karena unsur-unsur hara yang dikandung relatif mudah tersedia bagi tanaman dan mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti aerase dan drainese. Dari hasil penelitian Sigit (1984) juga menjelaskan bahwa pemberian abu sekam bisa memberikan sedikit kenaikan ketersediaan kalium dan posfor pada tanah. Selanjutnya dikatakan  bahwa abu sekam dapat meningkatkan silikat, kalium, dan posfor pada gabah, jerami, dan akar.
Menurut laporan Soepardi (1990) bahwa cara lain agar posfat tersedia bagi tanaman ialah dengan memberikan hara lain, agar tanaman mampu menyerap posfat atau tanah tidak mengikat posfat.  Pemberian silikat, kalsium atau magnesium dapat mengurangi daya ikat posfat tanah.  Silikat bersaing untuk tapak ikatan.  Karena ia merupakan anion bermuatan negative yang lebih besar dari ion posfat, dia mampu mendepak keluar dari keterikatan oleh tanah.
Menurut Bohn (1979), bahwa larutan silikat adalah dalam bentuk H4SiO4.  Jadi ionisasi dari silikat ini adalah sebagai berikut :
            H4SiO4                                H+  +  (H3SiO4)-
Sedangkan ionisasi unsur Fe adalah :
                        O                                                                     O

            Fe                                                                    Fe
                        O                                                                     O         +          OH-
            Fe                                                                    Fe+
HO                  OH                                          HO
Selanjutnya penambatan/fiksasi posfat oleh unsur Fe menurut Hakim et al (1986) adalah sebagai berikut :
                        O                                                                                 O
            Fe                                                                                Fe
                        O       +   H2PO4-                                                         O         +          OH-
            Fe                                                                                Fe

HO                  OH                                                      HO                  H2PO4
Maka ilustrasi untuk persaingan tapak ikatan antara ion posfat dengan ion silikat adalah sebagai berikut :
                        O                                                                                 O
            Fe                                                                                Fe
                        O   +  (H2SiO4)-                                                           O         +          H2PO4-
            Fe                                                                                Fe                              (tersedia)

HO                  H2PO4                                                  HO                  H3SiO4
               (tidak tersedia)        
            Karena ion silikat mempunyai kemampuan lebih besar untuk berikatan, sehingga silikat mampu bersaing dengan posfat dalam menempati tapak ikatan.  Ini sesuai dengan pendapat Lubis (1989) bahwa ion silikat mempunyai kemampuan yang besar berikatan (diadsorpsi) jika dibandingkan dengan ion posfat, karena hal ini sesuai dengan deret lyotropik yang dikemukakan oleh Bolt (1976), sebagai berikut :
                                                                                   
SiO4-4               PO4-3                  SO42-              NO31-       Cl1-                                     
                                                                         
            Dugaan ini juga diperkuat oleh Sigit (1984), bahwa silikat mempunyai peranan dalam melarutkan posfat.  Selanjutnya dikatakan, sehubungan dengan fenomena pertukaran ion, silikat dapat membuat bentuk-bentuk posfat tertentu yang dapat dicerna oleh tanaman.

2.3   Pupuk Kandang Sapi Sebagai Sumber Bahan Organik dan Hara
Pupuk kandang sebagai salah satu bahan organik merupakan pupuk yang berasal dari kandang ternak baik berupa kotoran padat bercampur sisa makanan maupun air kencing ternak (Lingga, 1991). Sutedjo dan Kartasapoetra (1992) menyatakan pupuk kandang dapat menambah tersedianya bahan makanan (unsur hara) bagi tanaman yang dapat diserap dari dalam tanah. Selain itu, ternyata pupuk kandang mempunyai pengaruh yang baik terhadap sifat fisika mendorong perkembangan jasad renik tanah. Dengan kata lain, pupuk kandang mempunyai kemampuan mengubah berbagai faktor dalam tanah sehingga menjadi faktor-faktor yang menjamin kesuburan tanah. Ditambahkan oleh Soepardi (1983) bahwa pemberian pupuk kandang juga merupakan salah satu cara untuk mencegah kehilangan unsur hara dari pencucian, dimana pupuk kandang akan bertindak sebagai pengabsorbsi kation yang dapat diambil tanaman.
Menurut Sutedjo dan Kartasapoetra (1988) pupuk kandang dapat dikatakan sebagai pupuk lengkap di samping unsur N, P, dan K sebagai unsur makro utama juga mengandung Ca, Mg, dan S sebagai unsur makro sekunder dan sejumlah kecil unsur mikro seperti Mn, Cu, dan B. Akan tetapi, pemanfaatan pupuk kandang sebagai sumber hara yang tersedia harus mengalami dekomposisi yang sebagian besar harus dilakukan oleh aktifitas mikroorganisme tanah.
Atmojo (2007) melaporkan bahwa kotoran sapi padat mengandung 1,1-1,5 % N, 0,5  % P, dan 0,9 % K.  Kotoran sapi berbentuk cairnya mengandung hara 1 % N, 0,50 % P, dan 1,50 % K. Namun apabila pupuk kandang ini digunakan untuk pemupukan, ketersediaanya hara dalam tanah yang bisa digunakan tanaman sangat bervariasi, yang tergantung oleh faktor: (a) sumber dan komposisi pupuk kandang, (b) cara dan waktu aplikasi, (c) jenis tanah dan iklimnya, dan (d) sistem pertaniannya.
Pupuk kandang mempunyai 3 fungsi terhadap perbaikan kesuburan tanah yaitu: (1) dapat menambah kesuburan tanah dengan tambahan kadar humus atau bahan organik tanah, (2) dapat memperbaiki sifat fisika tanah dengan memantapkan struktur tanah, dan (3) dapat memperbaiki kehidupan jasad renik dalam tanah (Soedjianto dan Sianipar, 1980). Menurut Satyamidjaja dan Rinsema (1983), pemberian pupuk kandang sebagai perbaikan kesuburan tanah dipengaruhi oleh jenis hewan, komposisi utama makan hewan, jumlah dan jenis alas kandang, serta cara pengelolaan pupuk kandang.
Pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air dan lendir sehingga menjadi berkerak dan keras bila terpengaruh udara. Selanjutnya air tanah dan udara yang akan melapukkan pupuk tersebut menjadi sukar untuk menembusnya. Dalam keadaan demikian peranan jasad renik untuk mengubah bahan-bahan yang terkandung dalam pupuk menjadi zat-zat hara yang tersedia dalam tanah mengalami hambatan dan perubahannya berlangsung secara perlahan. Pada perubahan ini kurang sekali terbentuk panas, dan keadaan ini mencirikan bahwa pupuk kandang sapi merupakan pupuk dingin, sehingga pemakaian atau pembenamannya ke dalam tanah dilakukan tiga atau empat minggu sebelum masa tanam (Sutedjo, 1992).
Rinsema (1983) memberi batasan, bahwa pupuk kandang dapat dibedakan atas pupuk kandang segar dan pupuk kandang matang. Pemakaian pupuk kandang matang lebih cepat melapuk dalam tanah sehingga waktu pemakaiannya dapat dibedakan dengan pemakaian pupuk kandang segar.  Lingga (1991) menambahkan bahwa pupuk kandang siap dipakai bila tidak lagi terjadi penguraian oleh jasad renik, tidak tercium lagi bau amoniak, bentuknya sudah berupa tanah gemmbur bila diremas, dan nampak kering berwarna coklat tua.
Kelebihan pupuk kandang dibandingkan dengan pupuk buatan adalah karena kandungan bahan organik yang tinggi berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah (Sarief, 1985). Sedangkan menurut Buckman dan Brady tahun 1961 (cit. Hakim et al., 1986) pupuk kandang juga mempunyai kekurangan yaitu lambat bereaksi karena sebagian besar zat-zat makanan harus mengalami perubahan sebelum dapat diserap tanaman.


2.4 Padi Sawah dan Pertumbuhannya
            Padi (Oriza sativa L.) termasuk famili Graminae (poaceae) sub famili Orizadae, genus Orizae.  Yang dibudidayakan adalah spesies Oriza sativa L di Asia dan Oriza glaberina steama di Afrika.  Beberapa pihak menyebutkan bahwa tanaman padi berasal dari China, karena ditemukan beberapa jenis padi liar.  Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa India sebagai daerah asal tanaman padi.  Padi adalah tanaman yang unik karena dapat tumbuh pada tanah yang tergenang maupun tanah yang kering.  Dinamika hara pada kedua sistem ini berbeda.  Disamping unsur Nitrogen, tanaman padi membutuhkan Phospor dan Kalium (Wikipedia Indonesia,2010).
            Tanaman padi termasuk golongan tanaman setahun atau semusim. Tanaman padi dalam pertumbuhan dan perkembangannya, melalui beberapa fase pertumbuhan yaitu : (1) fase vegetatif cepat, mulai dari pertumbuhan bibit sampai jumlah anakan maksimum, (2) fase vegetatif lambat, mulai dari jumlah anakan maksimum sampai keluarnya anakan malai dan (3) fase reproduktif, mulai dari fase keluarnya bunga sampai saat panen. Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik dan berproduktivitas tinggi akan sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan tanah, dimana akan berkaitan dengan ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang optimal bagi pertumbuhannya (Aksi Agraris Kanisius, 1990).
            Umur tanaman padi berbeda-beda menurut varietasnya dan keadaan iklim tempat dimana dia tumbuh. Di Indonesia umur padi berkisar antara 120 sampai 210 hari. Secara garis besar masa pertumbuhan tanaman padi dibagi atas 2 periode utama yaitu periode pertumbuhan vegetatif dan periode pertumbuhan generatif. Periode vegetatif dimulai saat berkecambah sampai pembentukan primordial bunga yang ditandai denga bertambah banyaknya anakan/tunas. Sedangkan periode generatif yaitu periode mulai primordial bunga sampai masak penuh, dimana pertumbuhan tanaman telah lengkap yang ditandai dengan pembentukan malai (Darwis, 1979).
            Menurut Aksi Agraris Kanisius (1990), tanaman padi dapat tumbuh baik pada daerah yang berhawa panas dan kelembaban tinggi. Di Indonesia padi ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 1300 meter dpl. Dengan tingkat curah hujan yang dibutuhkan sekitar 1500 – 2000 mm/tahun. Curah hujan yang cukup akan membawa dampak positif dalam pengairan, sehingga genangan air yang diperlukan tanaman padi dapat tercukupi.
            Tanaman padi dapat hidup baik didaerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih,dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1500 – 2000 mm. Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman padi sekitar 23o C. Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0 – 1500 m diatas permukaan laut (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, 2008 ).
            Tanaman padi mampu memanfaatkan tanah tergenang, karena akarnya memperoleh oksigen dari udara melalui aerenkim dan rongga udara dalam tanaman (Situmorang dan Sudadi, 2001). Penggenangan untuk tanaman padi sawah menimbulkan perubahan pada tanah sawah yang mempengaruhi proses kimia, biokimia, dan ketersediaan unsur hara. Dalam leadaan tergenang air menggantikan udara dalam pori tanah,kecuali di lapisan tipis di permukaan tanah. Dalam keadaan demikian mikroba tanah menggunakan senyawa yang mengandung O2 sebagai pengganti oksigen bebas untuk keperluan respirasi yang menyebabkan tanah tereduksi. Keadaan anaerob ini akan mempengaruhi ketersediaan unsur hara termasuk unsur hara Posfor.
    











III.  BAHAN DAN METODA

3.1  Waktu dan Tempat
            Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dari bulan Februari 2012 sampai Juni 2012 di Lahan Sawah Penduduk, di Limau Manis Padang. Dilanjutkan dengan analisis sifat kimia tanah yang dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.  Lamanya penelitian ini akan berlangsung 5 bulan dengan jadwal penelitian yang dapat dilihat pada lampiran 1.
3.2  Bahan dan Alat
            Sawah lokasi penelitian ini adalah sawah intensif dengan varietas padi yang ditanam adalah padi varietas padi IR42 (lampiran 2). Bahan yang digunakan di lapangan adalah abu sekam, pupuk kandang, pupuk NPK dan pestisida yang disesuaikan dengan jenis OPT yang ditemukan dilapangan nantinya. Sedangkan alat yang digunakan adalah mencakup alat-alat yang digunakan dilapangan seperti cangkul, bajak, dan parang serta alat-alat dilaboratorium seperti timbangan, spektrofotometer, dan mesin pengocok. Secara lengkap bahan dan alat ini disajikan pada lampiran 3 dan 4.
3.3  Rancangan Percobaan
            Penelitian ini akan dilaksanakan di lapangan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Sebagai perlakuannya adalah perbedaan takaran pemberian campuran abu sekam dan pupuk kandang, dengan perbandingan campurannya adalah 1:1. Dimana komposisi takaran ini dihitung pada kadar air 14 %.   Adapun perlakuannya terdiri dari :
a.       2,5 ton/hektar (1,25 ton abu sekam + 1,25 ton pupuk kandang sapi)
b.      5 ton/hektar (2,50 ton abu sekam + 2,50 ton pupuk kandang sapi)
c.       7,5 ton/hektar (3,75 ton abu sekam + 3,75 ton pupuk kandang sapi)
d.      10 ton/hektar (5,00 ton abu sekam + 5,00 ton pupuk kandang sapi)
Gambaran lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 5  .

3.4  Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Persiapan Lahan dan Penyemaian
            Persiapan lahan dimulai dengan pengolahan tanah menggunakan hand tractor atau bajak hingga berlumpur, diairi, digenangi dan di garu supaya permukaannya rata dan dibuat tempat untuk penyemaian benih. Kemudian dibuat petakan dengan ukuran lebih kurang 4 m x 5 m dengan masing-masing petakan pada bagian pinggir pematangnya akan dibuat saluran sedalam lebih kurang 5 cm dimana alirannya ke masing-masing petakan berlawanan antara aliran air masuk dan keluar. Hal ini bertujuan untuk memperlancar proses pengairan yang dilakukan secara intermitten (berselang-seling). Penyemaian dilakukan sebelum benih padi ditanam disawah. Padi di semai seperti yang dilakukan oleh petani setempat selama kira-kira 21 hari.
3.4.2 Pemberian Perlakuan
            Pemberian campuran abu sekam dan pupuk kandang dilakukan seminggu setelah pelumpuran.  Dimana setelah abu sekam dan pupuk kandang yang telah sesuai dengan takaran komposisinya yaitu 1:1 dicampurkan secara merata diatas plastik selanjutnya ditebarkan secara merata ke masing-masing plot perlakuan dan diaduk dengan garu bolak-balik agar campuran abu sekam dan pupuk kandang homogen dengan tanah sawah. Artinya campuran abu sekam dan pupuk kandang  terdistribusi secara merata hingga lapisan bawah tanah sawah bersamaan dengan lumpur-lumpur tanah sawah tersebut. Setelah itu tanah sawah diinkubasi selama seminggu.
3.4.3 Penanaman dan pemupukan
Setelah lahan dipersiapkan dan diberi perlakuan serta benih berumur  21 hari, kemudian dilakukan penanaman dengan jarak 20 cm x 20 cm dengan jumlah bibit 5 bibit per lubang (sesuai dengan yang dilakukan petani setempat). Selanjutnya dilakukan pemupukan dengan dosis yang akan diberikan sesuai dengan rekomendasi petani setempat yaitu: Urea 200 kg/ha akan diberikan dalam 2 tahap yaitu 50% diberikan sehari sebelum tanam dan sisanya diberikan saat tanaman berumur 40 hari, SP-36 100 kg/ha dan KCl 75 kg/ha akan diberikan dalam satu tahap yaitu satu hari sebelum tanam.
Pada saat dilakukan pemupukan, aliran air kedalam sawah dihentikan sementara sehingga pada waktu pemupukan tanah berada pada kondisi agak basah. Tujuannya agar pupuk yang diberikan tidak hanyut bersama aliran air. Cara seperti ini juga dilakukan oleh petani setempat.

3.4.4 Pengairan
Pengairan yang diterapkan adalah intermitten. Yaitu  setelah tanam, tinggi air dipertahankan hingga kira-kira setinggi 5-10 cm, setelah itu dibiarkan menyusut hingga kering, setelah kering untuk beberapa hari,maka diairi kembali. Pelaksanaan ini disesuaikan dengan kondisi kebutuhan airnya.
 
 3.4.5 Pemeliharaan
            Pemeliharaan yang dilakukan meliputi :
(1)   Penyiangan Gulma
 Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali, pada umur 21 hari dan 45 hari atau bila ada gulma yang mengganggu.  Gulma disiangi dan dibenamkan kedalam tanah
(2)    Pemberantasan hama dan penyakit
 Dilakukan penyemprotan dengan pestisida yang sesuai bila diperlukan.

3.4.6 Panen
Panen dilakukan setelah kriteria panen tercapai yaitu padi telah menguning, bulir 85% telah masak dan bulir bila ditekan terasa padat.  Panen dilakukan dengan pengambilan keseluruhan tanaman, dengan cara bagian atas tanaman dipotong kira-kira 2 cm dari permukaan tanah.  Sedangkan tanah bekas perlakuan atau setelah tanaman dipanen diambil untuk analisis sifat kimia tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit, pada masing-masing petakan sebanyak 250 g pada kedalaman lebih kurang 20 cm.


3.5 Pengamatan
3.5.1 Analisis Tanah
            Analisis tanah terdiri dari tiga tahap. pertama analisis tanah sebelum perlakuan (sebelum inkubasi), kedua sesudah perlakuan (setelah inkubasi), dan yang terakhir adalah diambil pada saat sehari setelah panen. Dalam setiap tahap ini sampel tanah diambil seberat 250 gram untuk setiap plot. Tanah dikering anginkan lalu ditumbuk dengan lumping kemudian diayak dengan ayakan 250 mikron.
Setiap sampel tanah yang di ambil akan dianalisis di laboratorium, yaitu meliputi analisis P-tersedia ditentukan  dengan metoda Bray II, pH H2O (1:1) dan pH KCl (1:1) yang di ukur dengan pH meter, serta kadar Ca, Mg dan K yang dapat ditukarkan dengan metoda pencucian dengan ammonium asetat pH 7. Prosedur analisis secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 6.

3.5.2 Analisis Tanaman
a)      Bobot kering gabah (kg/petak)
Bobot kering gabah dihitung dalam kg/petak pada kadar air 14%, diperoleh dengan cara diovenkan dan dihitung dengan rumus :
Bobot kering 14% = 100 - A  x  B
                                              100 - B

A = Berat basah – Berat kering x 100%
                             Berat kering

            Ket : A = kadar air saat penimbangan
                     B = berat gabah pada kadar air A
b)     Bobot 1000 butir gabah
            Gabah diambil secara acak pada setiap petakan yang masing-masingnya sebanyak 1000 buah kemudian ditimbang.
c)      Berat jerami
            Pada saat panen jerami pada masing-masing petakan diambil dan ditimbang berat basahnya.
d)     Analisis serapan P tanaman (biomassa tanaman)
            Analisis kandungan P tanaman dilakukan dengan cara mengambil sampel bagian tanaman (batang + daun) dari masing-masing petak pada saat tanaman di panen. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam kertas dan amplop yang telah dilobangi dan dimasukkan ke dalam oven selama 2 x 24  jam pada suhu 60o C atau sampai batas beratnya tetap. Selanjutnya dipotong atau digerinder agar halus untuk dilakukan analisis. Metoda dan prosedur analisis P tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 7.



IV. PERKIRAAN BIAYA
5.1 Di Lapangan
1.      Sewa Lahan                                                              Rp. 350.000,-
2.      Pupuk kandang                                                         Rp. 300.000,-
3.      Abu sekam                                                               Rp. 150.000,-
4.      Pengolahan Lahan                                                    Rp. 800.000,-
5.      Pupuk                                                                        Rp. 100.000,-
6.      Benih padi                                                                Rp. 100.000,-
7.      Pestisida                                                                    Rp.   50.000,-
8.      Dokumentasi                                                             Rp.   50.000,-
9.      Karung + Tali                                                            Rp.   60.000,-
10.  Cangkul                                                                    Rp.   50.000,-
11.  Kantong Plastik + Label                                           Rp.  100.000,-
                                                                              Rp. 2.110.000,-
5.2 Di Laboratorium
1.      Bahan kimia                                                                Rp. 1.500.000,-
2.      Kertas Label dan Spidol                                             Rp.     20.000,-
3.      Kertas Saring dan Tisu                                                Rp.     50.000,-
4.      Biaya Laboratorium                                                    Rp.     50.000,-
                                                                                    Rp. 1.620.000,-
4.3  Pembuatan Laporan
1.      ATK                                                                            Rp.  50.000,-
2.      Pembuatan Proposal                                                    Rp. 100.000,-
3.      Pembuatan Skripsi                                                      Rp. 400.000,-
                                                                                    Rp. 550.000,-
Total Biaya                                                                              Rp. 4.280.000,-
Terbilang : Empat Juta Dua Ratus Delapan Puluh Ribu Rupiah.

DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1990. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius. Yogyakarta. 172 hal
Ahmad, Fachri. 1989. Asam Humat dan Ketersediaan Posfor Tanah Sawah dan Tanah Kering. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang.
Bohn, Hinrich.  Brian Mc Neal and George O’Connor.  1979. Soil Chemistry. New York Chichester. Brisbane. Toronto.
Burbey, H. S. Abdullah. Mawardi, E. Taher, A. Imran. 2000. Tekhnologi P-starter solusi kelangkaan pupuk fospor. BPTP Sukarami. Hal 1 – 11.
Darwis, S.N. 1979. Agronomi Tanaman Padi. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. Perwakilan Padang. 73 hal.
Desnelly. 1991. Pengaruh pemberian pupuk TSP terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah (Oryza sativa. L). Fakultas Pertanian Universitas Eka Sakti. Padang. 70 hal.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabaupaten Bantul. 2008. Budidaya Padi.
Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. 1988. Pengkajian Status Hara Posfat di Lahan Sawah. Jakarta. 3 hal.
Hakim, Nurhajati. M.Y Nyakpa, A.M Lubis, S.G Nugroho, M.R Saul, M.A Diha, G.B Hong, dan H.H Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. 488 hal
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 220 hal.
Lembaga Penelitian Tanah. 1974. Kesuburan Tanah. Lembaga Penelitian Tanah Bogor. Bogor. Hal 26-36.
Lubis A.M. 1989. Azas-azas Kimia Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. Universitas Islam Sumatera Utara ; Medan.
Nyakpa, MY. A.M Lubis, M.A Pulung, A.G Amarah, A Munawar G.B Hong, dan N Hakim, 1985. Kesuburan Tanah. Badan Kerja Sama Ilmu Tanah BKS-PTN/USAID University of Kentucky. WUAE Project. 300 hal.
Pramono,J. 2008. Kajian Penggunaan Bahan Organik Pada Padi Sawah.
Rinsema, W. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bharata Karya Aksara. Jakarta. 235 hal
Rushadi. 1985. Pengujian pupuk P pada tanaman di Indonesia. Dalam proseding lokakarya nasional penggunaan pupuk P. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah Bogor. Hal 406-421.
Sanchez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika jilid 2. Hamzah, A. penerjemah ; Hadiwijoyo, P.S., penyunting. Bandung. ITB. Terjemahan dari : Properties and Management of Soils in the Tropics, 1st Edition. 303 hal.
Sarief, S.  1985.  Ilmu Tanah Pertanian.  Pustaka Buana Bandung.  196 Hal.
Sigit, Gunardi.  1984. Pengaruh pemberian kotoran ayam dan abu sekam terhadap perubahan sifat kimia tanah, pertumbuhan dan produksi padi gogo varietas tondano pada tanah podzolik merah kuning jasinga. IPB. Bogor. 90 hal.
Soepardi, Goeswono. 1979. Masalah Kesuburan Tanah di Indonesia. Departmen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 149 hal.
Soepardi, Goeswono. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departmen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 591 hal.
Soepardi, Goeswono. 1990. Siasat kecoh dalam pemupukan posfat (Artikel). Jakarta. 277 hal.
Sumaryanto, dkk. 2001. Konversi Lahan Sawah Kepenggunaan Non Pertanian dan Dampak Negatifnya. Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Hal. 1-18.
Suriadikarta dan Hartatik. 2003. Peningkatan Produktifitas Lahan Sawah Diluar Jawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Balai Penelitian Tanah.
Taher, E. Mawardi, A. Sahar, dan S. Abdullah. 1994. Penelitian pengembangan pemanfaatan timbunan pada tanah sawah irigasi. Risalah Seminar Balittan Sukarami.


Lampiran 1. Jadwal kegiatan Penelitian
No
Kegiatan
Bulan

Februari
Maret
April
Mei
     Juni 

1
Persemaian




















2
Persiapan Lahan




















3
Pemberian Perlakuan




















4
Penanaman




















5
Pemeliharaan




















6
Pemupukan




















7
Pemanenan




















8
Analisis Sampel Tanah




















9
Analisis Sampel Tanaman




















10
Progres Report




















11
Penulisan Skripsi














































Keterangan :
           Pemberian pupuk urea tahap ke-2


Lampiran 2.    Jenis dan jumlah alat yang digunakan di lapangan dan di laboratorium

No.
Nama alat
Jumlah
1
Cangkul
3 buah
2
Meteran
1 buah
3
Parang
1 buah
4
Kantong plastik
0,5 kg
5
Mesin bajak/traktor
1 unit
6
Ayakan
1 unit
7
AAS
1 unit
8
Alat destruksi
1 unit
9
Alat destilasi
1 unit
10
Buret dan standart
1 buah
11
Corong
7 buah
12
Eksikator
1 buah
13
Erlenmeyer
14 buah
14
Gelas ukur 100 ml dan 50 ml
21 buah
15
Gelas piala 250 ml
2 buah
16
Kertas tissue
4 gulung
17
Kertas saring
100 lember
18
Labu ukur 50 ml
5 buah
19
Labu kjeldhal
1 buah
20
Mesin pengocok horizontal
1 buah
21
Oven
2 buah
22
Pipet tetes
3 buah
23
Pipet gondok 25 ml,10 ml dan 5 ml
1 unit
24
pH meter
1 unit
25
Pengangas listrik
1 unit
26
Mesin grinder
1 buah
27
Spektronik
1 buah
28
Tabung film
20 buah
29
Timbangan analitik
1 buah
30
Cawan aluminium
21 buah
31
Tabung reaksi
21 buah
32
Alat-alat tulis
1 paket









Lampiran 3.    Jenis dan jumlah bahan kimia yang digunakan untuk analisis tanah dan tanaman di laboratorium

No
Nama bahan
Jumlah
1
Aquadest
60 liter
2
Asam sulfat pekat
600 ml
3
Asam borat 4 %
1 liter
4
Asam klorida pekat
200 ml
5
Amonium florida
1 liter
6
Amonium molibdat
600 ml
7
Amonium asetat
1 liter
8
Asam askorbat
60 ml
9
Asam sulfat
100 ml
10
Asam sulfat
200 ml
11
Asam tartarat
25 g
        12
1-amino 2-naftol 4-sulfanol
1 liter
13
Buffer pH 7
1 ampul
14
Buffer pH 4
1 ampul
15
Barium chloride
500 g
16
Hydrogen peroksida
200 ml
17
Indikator Conway
200 ml
18
Kalium dikhromat
100 ml
19
Kalium antimonitrat
90 ml
20
Natrium hidroksida
200 g
21
Natrium hidroksida
1 liter
22
Natrium bisulfate
10 g
23
Sakarosa baku
30 g
24
Serbuk selenium
50 g








Lampiran 4. Denah Penelitian
D3
D2
D1
C3
C2
C1
B3
B2
B1
A3
A2
A1
u
 



                                                                                                                                     
 

                                                                                                                                       4 m
                                                                                                                                     
 

                                                                                                             5  m                    

Keterangan :
1,2,3 = Ulangan
A      = Perlakuan 2,5 ton/hektar (1,25 ton abu sekam + 1,25 ton pupuk kandang)
B       = Perlakuan5 ton/hektar (2,50 ton abu sekam + 2,50 ton pupuk kandang)
C       = Perlakuan 7,5 ton/hektar (3,75 ton abu sekam + 3,75 ton pupuk kandang)
D       = Perlakuan 10 ton/hektar (5,00 ton abu sekam + 5,00 ton pupuk kandang)


Lampiran 5.  Prosedur Analisis Tanah di Laboratorium

1.    Penetapan P- tersedia dengan metode Bray II  (Hakim, 2003)
Bahan             : Pereaksi P-A , peraksi P-B,  pereaksi P-C,  dan larutan  standart 50 ppm
Pereaksi P-A : (0,1 N HCl + 0,03 NH4F). Larutan ini dibuat dari 11,1 g NH4F ditambahkan  16,64 HCl 6 N yang dilarutkan dalam 1 liter air bebas ion .
 Pereaksi P-B : Dilarutkan 3,8 gram NH­4+ molibdat dengan 300 ml H2O pada suhu 60oC lalu dinginkan. Larutan 5 gram  H3BO3 dalam 500 ml H2O dan ditambahkan 75 ml HCL pekat. Kemudian ditambahkan larutan NH4+  molibdat dan diencerkan menjadi 1 liter.
Pereaksi P-C : Dibuat dari serbuk  pereduksi beku yaitu sebanyak 1,5 gram        1-amino 2-naftol 4 sulfonat, 5g Na2SO3 dan 146 g Na2S2O5 yang ditumbuk bersama-sama dalam lumpang porselen. Larutan pereduksi dibuat dengan cara melarutkan 8 g serbuk pereduksi 500 ml air panas. Biarkan selama 12 - 16 jam sebelum digunakan
Cara kerja :  Sebanyak 1,5 gram tanah kering angin dimasukan kedalam erlemeyer 50 ml, kemudian ditambahkan  15 ml larutan Bray II kocok  selama 15 menit dengan mesin pengocok  kemudian disaring. Hasil saringan dipipet sebanyak  5 ml dan dimasukan  ke dalam  tabung reaksi ditambahkan 5 ml larutan P-B, kocok dan ditambahkan 5 tetes larutan P-C serta kocok kembali. Setelah 15 menit  ukur kepekatan P dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang  600 µm. Kalibrasikan hasil tersebut dengan kurva baku larutan penetapan blanko.
Pembekuan  :  Dibuat sesuai deret larutan baku berkadar 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm P dengan larutan 0,2185 g KH2PO4  (kering 40 o C ) dengan 1 liter larutan Bray II.  Pipet berturut-turut 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 ml larutan standar 50 ppm P kedalam labu ukuran 100 ml, maka didapat deret larutan yang dimaksud. Pipet 5 ml larutan baku dan dimasukan kedalam tabung reaksi ditambah larutan P-B dan 5 tetes larutan P-C .
Perhitungan :       P-Tersedia  (ppm) =   P larutan  x 15 /1,5 x 5/5 x KKA
2.      Penetapan pH Tanah dengan pH Meter (Bates, R.G, 1954 cit International Institute of Tropical Agriculture, 1990).

a.                                          Bahan              :  Aquades, KCl 1N, Standar pH 4 dan 7
b.                                              Cara kerja : Tanah sebanyak 10 g dimasukkan ke tabung film dan ditambahkan 10 ml aquades. Dikocok 15 menit dengan mesin pengocok, kemudian diamkan sebentar.  Setelah itu lakukan pengukuran dengan menggunakan pH meter yang dibakukan dengan larutan penyangga pH 4 dan 7 dengan prosedur yang sama dilakukan untuk 1N KCl (pH KCl).
3.      Penetapan K, Ca, Mg dan Na dapat ditukarkan dengan metode Pencucian Amonium Asetat (Jackson, ML, 1962 cit International Institute of Tropical Agriculture, 1990).
a.         Bahan  : Amonium asetat pH 7 1N
b.        Cara kerja :Ditimbang 5 gram contoh tanah lolos ayakan 2 mm diperkolasikan dengan amonium asetat 1 N pH 7 sebanyak 100 ml ke dalam labu ukur 100 ml, sampai volumenya menjadi 100 ml.  Untuk penetapan K, Ca, Mg tanah dilakukan pengenceran 10 kali (5 ml menjadi 50 ml), kemudian ekstrak diukur dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) yang telah distandarkan menurut jenis analisis yang telah dilakukan.
Perhitungan   : Ca-dd (me/100g)   =
Perhitungan   : K-dd (me/100g)    =
Perhitungan   : Na-dd (me/100g) =
Perhitungan   : Mg-dd (me/100g) =


Lampiran 6. Prosedur Analisis Tanaman di Laboratorium
1.      Pembuatan ekstrak tanaman (Santoso et al, 1983)
Bahan       :  H2SO4 pekat, H2O2 30% dan batu didih karborandum
Cara Kerja : Sebanyak 0,25 g sampel tanaman yang telah halus dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, di tambah 2,5 ml H2SO4 pekat dan kira-kira 25 mg batu didih karborandum, lalu dibiarkan semalam untuk menghindari pembuihan yang berlebihan. Keesokan harinya dipanaskan selama 15  menit di atas penangas listrik, semula pada suhu rendah kemudian suhu dinaikkan sedikit demi sedikit hingga ± 150o C. Setelah kira-kira 30 menit ditambahkan 5 tetes H2O2 30%, dalam selang waktu 10 menit. Pemberian H2O2 dilakukan berulang-ulang sehingga cairan dalam labu ukur menjadi jernih. Selanjutnya dipanaskan pada suhu kira-kira 250o C, sampai cairan yang tertinggal ± 2,5 ml. Larutan didinginkan dan disaring ke dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditambahkan aquadest sampai mencukupi 50 ml, maka didapat ekstrak tanaman pekat. Larutan ini digunakan untuk penetapan N-total tanaman. Kemudian dipipet 5 ml larutan destruksi pekat dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan sampai tanda garis. Larutan ini dinamakan larutan encer yang digunakan untuk penetapan P dan K tanaman.
2.      Penetapan Fosfor (P) tanaman (Santoso et al, 1983)
Bahan         : Asam sulfat 5 N, ammonium molibdat 4 %, kalium antimonil tartarat, asam askorbat  0,1,  asam sulfat 0,15 N dan larutan standar 1000 ppm P.
Cara kerja : Pipet cairan destruksi encer sebanyak 5 ml dan masukkan ke dalam tabung erlemeyer 50 ml. Untuk penetapan deret standar P, dipipet masing-masing 5 ml deret standar P ke dalam erlemeyer 50 ml. Deret standar yang mengandung 0 ppm P yang digunakan untuk menyetel titik 100% T pada kolorimeter. Ditambahkan 20 ml campuran pereaksi P dan dikocok. Setelah 15 menit diukur dengan kolorimeter filter 693 mµ dan kuvet 1 cm. Deret standar P digunakan sebagai pembanding P dan sampel. Mula-mula diukur deret standar P kemudian baru contoh. T (Transmitance) dibaca pada kolorimeter


Perhitungan :
            % P : 0,2 x ppm P dari kurva setelah koreksi blanko x KKA
   Serapan P = % P x berat kering tanaman (kg/petak)



Lampiran 7.  Tabel kriteria penilaian sifat kimia tanah

Sifat Tanah *)
Nilai
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
P-tersedia (ppm) **
Ca-dd (me/100 g)
Mg-dd (me/100 g)
K-dd (me/100 g)
Na-dd (me/100 g)
< 5,00
< 2,00
< 0,40
< 0,10
< 0,10
5,00-14,00
2,00-5,00
0,40-1,00
0,10-0,20
0,10-0,30
15,00–39,00
6,00-10,00
1,10-2,00
0,30-0,50
0,40-0,70
40,00–60,00
11,00-20,00
2,10-8,00
0,60-1,00
0,80-1,00
> 60,00
> 20,00
> 8,00
> 1,00
> 1,00



pH tanah
Nilai
Sangat masam
Masam
Agak masam
Netral
Agak alkalis
Basa
pH (H2O)
< 4,5
4,5 – 5,5
5,6 – 6,5
6,6 – 7,5
7,6 – 8,5
> 8,5










Sifat Tanah***
Nilai
Sangat Kurang
Kurang
Cukup
Si tanah (ppm)
< 39
39 - 69
> 69



*)         Sumber :     Staf Pusat Penelitian Tanah (1983; cit Hardjowigeno, 2003)
**)       Sumber :     Team 4 Architects and Consulting Engineers berkerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Andalas (1981)
***)     Sumber :     Team Tehnis Tanah dan Air Fatemata IPB (cit. Faisal, 1984)


Lampiran 8. Deskripsi Tanaman padi Varietas IR-42
Asal persilangan          : IR 2042/CR-94-13
Kelompok                   : Padi sawah pasang surut
Umur Tanaman           : Cere
Bentuk Tanaman         : 135 -145 hari
Tinggi Tanaman          : 90 – 105 batang
Anakan produktif       : 20 -25 batang
Warna kaki                  : hijau
Warna batang              : hijau
Warna daun                 : hijau tua
Permukaan daun         : Kasar
Posisi daun                  : Tegak
Bentuk gabah              : Ramping
Kerontokkan               : Sedang
Kerabahan                   : Tahan
Tekstur nasi                 : Pera
Kadar amillosa            : 27%
Bonot 1000 butir         : 21,5 – 23,3 gram
Ketahanan terhadap    : Hama : tahan wereng coklat biotipe 1 dan 2.
                                      Penyakit : tahan terhadap penyakit bakteri busuk dan busuk daun.
Sumber: Balai besar penelitian tanaman pangan (2011)