PROPOSAL
PENELITIAN
PENGARUH
PEMBERIAN CAMPURAN ABU SEKAM DAN PUPUK KANDANG PADA TANAH SAWAH
INTENSIFIKASI TERHADAP KETERSEDIAAN POSFOR
OLEH
:
LUSY
HEILDA MAILANI
0810211032
PROGRAM
STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
ANDALAS
PADANG
2012
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis
ucapkan kehadirat Allah SWT, yang selalu melimpahkan rahmat-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian ini dengan judul ” Pemanfaatan Campuran Abu Sekam dan Pupuk Kandang
Pada Tanah Sawah Intensifikasi serta Pengaruhnya Terhadap Posfor Tersedia”. Dimana
Proposal penelitian ini disusun sebagai pedoman untuk melaksanakan penelitian
dalam rangka penulisan skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Universitas Andalas.
Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Darmawan,MSc sebagai
pembimbing I dan Dr. Ir. Syafrimen Yasin, MS.MSc sebagai pembimbing II yang
telah banyak memberikan bantuan dan pengarahannya. Terima kasih juga
disampaikan kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan proposal ini.
Penulis menyadari bahwa proposal
penelitian ini jauh dari kesempurnaan dan masih perlu banyak perbaikan. Penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan proposal ini,
sehingga bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian.
Padang, Januari 2012 L.H.M
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………… i
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………….. ii
DAFTAR
TABEL……………………………………………………………….. iii
DAFTAR
LAMPIRAN………………………………………………………….. iv
I. PENDAHULUAN…………………………………………………………… 1
1.1
Latar Belakang…………………………………………………………….
1.2
Tujuan……………………………………………………………………..
1.3
Hipotesis…………………………………………………………………..
II.
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………... 5
2.1.
Bentuk Fosfor dan Ketersediaannya Pada Tanah Sawah……………….. 5
2.2.
Pengaruh Abu Sekam Terhadap Posfor Tersedia……………….……… 6
2.3.
Pupuk Kandang Sapi Sebagai Sumber Bahan Organik dan Hara……… 7
2.4.
Padi Sawah dan Pertumbuhannya………………………………………. 8
III. BAHAN
DAN METODA….……………………………………………….. 10
3.1. Waktu dan
Tempat……………………………………………………… 10
3.2. Bahan dan
Alat………………………………………………………….. 10
3.3. Rancangan
Penelitian…………………………………………………… 10
3.4. Pelaksanaan
Penelitian………………………………………………….. 11
3.5.
Pengamatan……………………………………………………………… 12
IV. PERKIRAAN BIAYA………………………………………………………. 14
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………. 15
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.
Tabel
Tahap pemupukan yang digunakan dalam penelitian………………… 11
2. Tabel
Kriteria Penilaian sifat kimia tanah……………………………………. 25
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Jadwal
kegiatan penelitian............................................................
17
2. Alat
yang digunakan di lapangan dan laboratorium selama
penelitian……………………………………………………….................... 18
3. Bahan
yang digunakan selama penelitian untuk analisis tanah
..... dan tanaman di laboratorium.......................................................................... 19
4. Denah penelitian di lapangan ..................................................... 20
5. Prosedur
analisis tanah di laboratorium........................................
21
6. Prosedur
analisis tanaman di laboratorium...................................
23
7. Kriteria
penilaian sifat kimia tanah...............................................
25
8. Deskripsi
Tanaman Padi Varietas IR-42
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan akan beras sebagai komoditi pangan utama semakin hari terus meningkat namun
masalah ketersediaannya menjadi hal yang sangat urgensi untuk ditanggulangi. Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut, pemerintah mengandalkan pulau Jawa
sebagai pemasok beras utama, karena sekitar 50% total luas sawah beririgasi
terdapat di pulau ini. Namun demikian, ketergantungan ini tidak lagi bisa di
andalkan mengingat laju alih fungsi lahan sawah di Jawa mencapai 7000 hektar
per tahun. Untuk itu berbagai upayapun dilakukan,baik secara
ekstensifikasi dengan membuka lahan baru di luar pulau Jawa maupun upaya
Intensifikasi. Dimana jalan Intensifikasi
bertujuan meningkatkan hasil tiap satuan luas suatu areal melalui penerapan
teknologi baru, diantaranya dengan pemberian input hara ketanah dan cara pengelolaan
yang tepat melalui berbagai program yang dicangangkan,diantaranya adalah
program Panca usaha tani (Sumaryanto, 2001).
Sejak diterapkannya program intensifikasi padi
sawah yang digalakkan dalam proyek-proyek Bimas dan Inmas pada awal PELITA I (1969),
pemakaian pupuk buatan di Indonesia terutama yang mengandung unsur hara makro
nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K),
meningkat dengan cepat. Melalui
program-program tersebut Indonesia telah mampu merubah statusnya dari negara
pengimpor beras menjadi negara yang berswasembada pangan khususnya beras pada
tahun 1984. Namun, keberhasilan dalam
berswasembada beras ini tidak lama bertahan.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Salah satunya adalah penggunaan pupuk yang intensif dan tidak berimbang ( Suriadikarta
dan Hartatik, 2003)
Penggunaan pupuk P secara
terus-menerus pada padi sawah intensifikasi akan menimbulkan bahaya penumpukan
P pada tanah sawah tersebut. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan (1988)
melaporkan bahwa terdapat kejenuhan P di
beberapa daerah intensifikasi yang diperkirakan untuk Indonesia mencapai 2,5 juta ha, akibat
pemupukan P yang terus-menerus setiap
musim tanam. Soepardi (1983) juga
menjelaskan bahwa hanya 30-50 % dari P yag diberikan pada tanah tersedia untuk
tanaman, selebihnya tertinggal ditanah sebagai residu atau hanyut melalui
aliran permukaan sehingga membahayakan kehidupan biota sungai serta danau.
Hasil
penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kebiasaan petani memberikan pupuk P secara berlebihan. Sebagai contoh, di Sumatera Barat dari 232
contoh tanah sawah yang dianalisis pada tahun 1993/1994 ditemukan sebagian
besar (57,2 %) sawah irigasi mempunyai kadar P tanah antara 10-60 ppm, hampir
10 % mempunyai kadar P tersedia antara 60-100 ppm dan hanya sekitar 32,8 % saja
yang berkadar P tanah di bawah 10 ppm (Taher dan Zaini, 1991 cit Burbey,
Abdullah, Mawardi, Taher, Imran, 2000).
Bila pupuk P diberikan pada setiap musim tanam dengan takaran sesuai
dengan anjuran atau melebihi takaran anjuran dalam jangka lama akan menyebabkan
terjadinya penimbunan P ditanah, sehingga musim-musim berikutnya tanaman padi
tidak tanggap lagi terhadap pemupukan P (Desnelly, 1991).
Kehilangan P dari tanah sawah akibat panen
relatif kecil. Dari jumlah yang
diberikan hanya sekitar 10-20 % yang terserap tanaman, sedangkan sisanya
sekitar 80-90 % akan menumpuk di tanah sebagai residu. Dengan demikian disinyalir unsur P pada daerah yang telah
melakukan intensifikasi secara terus menerus selama ± 8 tahun diperkirakan
sudah terjadi akumulasi P pada koloid-koloid tanah (Rushadi, 1985). Oleh sebab itu, diperlukan cara-cara atau
teknologi yang dapat meningkatkan efesiensi penggunaan pupuk P salah satunya
adalah dengan pemanfaatan bahan organik.
Belakangan ini petani sudah mengabaikan pupuk organik karena sudah terbiasa dengan pupuk buatan.
Akan tetapi, harga pupuk buatan terlalu mahal, oleh karena itu bahan organik
harus digunakan kembali untuk mengurangi aplikasi pupuk buatan. Pengelolaan
bahan organik tanah merupakan salah satu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh
tanaman yang antara lain dapat memperbaiki fisik media tumbuh akar dan meningkatkan
efisiensi pemupukan. Dimana bahan organik juga dapat meningkatkan ketersediaan
beberapa unsur hara sehingga meningkatkan efisiensi pemupukan P (Suhartatik dan
Sismiyati, 1999 cit Pramono, 2008).
Sumber bahan organik
yang berpotensi digunakan adalah timbunan sisa tumbuhan atau binatang yang
sebagian atau seluruhnya telah mengalami dekomposisi. Untuk tumbuhan,pada
umumnya bahan organik ini berasal dari tanaman-tanaman tingkat rendah ataupun
tanaman tingkat tinggi yang mudah mengalami dekomposisi serta beberapa jenis
biomassa yang dihasilkan saat panen.
Pemanfaatan
kembali sisa-sisa pertanian sebagai bahan masukan dalam produksi disektor
pertanian belum banyak mendapat perhatian yang khusus. Sebagian besar dari
biomassa yang dihasilkan setelah dimanfaatkan hasil utamanya, selebihnya
dibuang sebagai limbah. Disektor pertanian tanaman pangan, produksi yang dihasilkan
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan biomassa yang dihasilkan. Menurut
laporan Winarno (1985), pada tanaman padi dari 100 kg gabah kering hanya
menghasilkan 29,9 kg beras dan sisanya dalam bentuk limbah yang terdiri dari
55,6 kg jerami, 9,9 kg sekam dan 3,6 kg bekitul.
Dewasa
ini jerami padi telah mulai dimanfaatkan orang terutama untuk keperluan pakan
ternak, sebagai mulsa, bahkan ada yang dikembalikan ke tanah setelah dijadikan
kompos. Sedangkan sekam biasanya ditumpuk saja ditempat penggilingan padi,
sehingga membentuk bukit-bukit kecil.
Untuk mengurang onggokan sekam ini, biasanya dilakukan pembakaran. Mengingat banyaknya unsur hara yang terangkut
panen maka diduga sekam ini mengandung unsur-unsur hara, sehingga perlu
dikembalikan ke tanah. Dengan adanya
proses pembakaran tersebut maka proses perombakan dapat dipercepat, sehingga
unsur hara yang dikandungnya cepat tersedia.
Berdasarkan
hasil analisis abu sekam yang dilakukan oleh Sigit (1984), didapat bahwa limbah
ini mengandung sejumlah hara dengan komposisi sebagai berikut : 0,15%
nitrogen, 0,16% posfor, 1,85% kalium,
0,49% kalsium, 1,05%
C-organik, 68,7% SiO2 dan C/N 36. Mengingat
besarnya unsur-unsur yang dikandung abu sekam, maka sangat perlu sekali
pemanfaatannya kembali disektor pertanian.
Disamping sebagai sumber hara bagi tanaman padi, juga sebagai bahan
organik yang dapat mengurangi sorpsi P pada tanah, sebab abu sekam mengandung
silikat yang cukup tinggi, yang akan mampu melepaskan posfat oleh tanah
sehingga menjadi tersedia untuk tanaman.
Alternatif
selanjutnya yang berpotensi sebagai bahan organik yang bersumber dari hewan
adalah pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan salah satu hasil sampingan
pertanian yang penting. Satyamidjaja (1986) menyatakan bahwa pupuk kandang merupakan
kotoran padat dan cair dari hewan ternak yang tercampur dengan sisa makanan
ataupun alas kandangnya. Menurut Hardjowigeno (2003) pupuk kandang juga dapat
meningkatkan meningkatkan kesuburan tanah. Pada beberapa tanah masam, pupuk
kandang dapat meningkatkan pH tanah dan menetralkan Al dengan membentuk komplek
Al organik. Soepardi (1983) menyatakan bahwa pemanfaatan pupuk kandang juga
merupakan salah satu cara untuk mencegah kehilangan hara dari pencucian, karena
pupuk kandang akan bertindak sebagai penyerap kation yang dapat diambil
tanaman, sehingga tindakan ini penting artinya terutama di daerah tropis basah
seperti Indonesia sehubungan dengan apakah pupuk kandang juga dapat
meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman padi pada sawah intensif.
Bertitik
tolak dari masalah-masalah serta potensi yang dikemukakan, maka penulis
tertarik untuk melaksanakan penelitian mengenai Pemanfaatan
Campuran Abu Sekam dan Pupuk Kandang Pada Tanah Sawah Intensifikasi serta
Pengaruhnya Terhadap Posfor Tersedia.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji
potensi abu sekam dan kotoran ternak sapi sebagai sumber bahan organik yang
dapat meningkatkan kesuburan tanah sawah intensif, dalam hal ini adalah melihat
pengaruhnya terhadap kandungan Posfor tersedia tanpa harus berdampak negatif
terhadap lingkungan. Luaran, Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan nyata dalam
mengatasi masalah rendahnya produksi sawah akibat ketersediaan hara
dan memaksimalkan penggunaan biomassa yang selama menjadi limbah sebagai sumber bahan organik yang cukup berpotensi.
1.3 Hipotesis
Hipotesis dari
penelitian ini antara lain adalah :
a.
Campuran Abu Sekam dan Pupuk Kandang berpengaruh terhadap
kandungan Posfor tersedia pada tanah sawah Intensif
b.
Campuran Abu Sekam dan Pupuk Kandang berpengaruh
terhadap produksi tanaman padi
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hubungan antara sawah intensifikasi
dengan kandungan Posfor dalam tanah
Posfor
( P ) merupakan hara makro esensial untuk pertumbuhan dan produksi tanaman.
Tanaman akan mengkonsusmsi P dalam bentuk H2PO4¹‾ , HPO42-
,PO43- (Hakim, Nyakpa, Lubis, Nugroho, Saul, Diha, Hong
dan Bailey. 1986). Selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan bentuk-bentuk senyawa
tersebut akan ditentukan oleh nilai pH tanah. Pada tanah masam dijumpai H2PO4
yang dominan dan terus kebentuk HPO4 sedangkan pada tanah alkalin
dijumpai bentuk PO4.
Menurut Soepardi (1983), suatu hal
yang menguntungkan dari sifat P adalah sangat stabilnya P di tanah, sehingga
kehilagan P akibat pencucian relatif tak pernah terjadi. Tetapi hal ini pulalah
yang menyebabkan kelarutan P dalam tanah sangat rendah yang konsekuensinya
ketersediaan P untuk tanaman relatif sangat sedikit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketersediaan P di tanah yaitu : ( 1 ) tipe liat, (2) bahan organik, ( 3 )
waktu, ( 4 ) temperatur, dan ( 5 ) pH tanah (Hakim et al, 1986). Sedangkan Soepardi (1983) menambahkan bahwa
ketersediaan P organik tanah ditentukan oleh : pH tanah, Fe, Al, Mn yang
terlarut, ketersediaan Ca, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik, dan
kegiatan jasad mikro.
Menurut Nyakpa, Lubis, Pulung,
Amarah, Munawar, Hong, dan Hakim (1985), bahwa P yang diberikan ke dalam tanah
tidak semuanya dapat tersedia bagi tanaman, sabahagian mengalami retensi dan
fiksasi. Retensi adalah bentuk P yang tersedia di dalam tanah dan tersedia bagi
tanaman. Sedangkan terfiksasi adalah bentuk P yang tidak tersedia bagi tanaman.
Soepardi (1983) menjelaskan bahwa
hanya 30 – 50 % dari P yang diberikan pada tanah secara intensif tidak efektif tersedia
untuk tanaman, sehingga sebagian besar tertinggal sebagai residu. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rinsema (1983), bahwa pemberian pupuk P yang berlebihan
dari yang dibutuhkan tanaman akan memberikan pengaruh residu pada tanaman
berikutnya. Masalah ini juga didukung oleh Ahmad (1989), dari hasil penelitian
memnunjukkan bahwa memang terdapat akumulasi P di tanah kering dan tanah sawah
bila tanah-tanah tersebut dilakukan pemupukan secara terus-menerus dengan
pupuk-pupuk yang mengandung P. Pengaruh pemupukan secara terus-menerus
dilaporkan oleh Kamprath, 1967 cit . Lembaga Penelitian Tanah (1974),
bahwa hal ini masih dapat terlihat walaupun sudah mencapai 50 tahun dan
pengaruh pemupukan berat dapat terlihat 7 sampai 9 tahun berikut.
Pada tanah sawah perubahan
pengelolaan dari cara tradisional kepada sistem intensifikasi seperti pemakaian
pupuk buatan secara intensif serta pengelolaan tanah yang dilakukan tanpa
pemberaan mengakibatkan pengembalian bahan organik secara alami tidak terjadi
lagi. Hal ini dapat mempengaruhi sifat kimia dan fisika tanah (Sanchez, 1993).
2.2 Pengaruh Abu Sekam Terhadap Posfor
Tersedia
Percobaan
yang menggunakan abu sekam dan sekam sebagai faktor perlakuan sudah banyak
dilakukan orang, dengan hasil yang bervariasi.
Hal ini dapat dimengerti bahwa bahan ini dapat berfungsi sebagai pupuk
alam karena adanya unsur-unsur lain yang dikandungnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Pender (cit. Soepardi, 1979) bahwa sekam merupakan
salah satu pupuk alam yang cukup berarti, tetapi untuk pengaplikasian pada
masyarakat tani Indonesia masih sedikit yang memanfaatkan.
Suseno
(1981) mengatakan bahwa pemberian limbah pertanian dalam bentuk abu (sisa
pembakaran) ke dalam tanah dapat memberikan beberapa keuntungan, dibandingkan
dengan bentuk segar. Karena unsur-unsur
hara yang dikandung relatif mudah tersedia bagi tanaman dan mampu memperbaiki
sifat fisik tanah seperti aerase dan drainese. Dari hasil penelitian Sigit (1984)
juga menjelaskan bahwa pemberian abu sekam bisa memberikan sedikit kenaikan
ketersediaan kalium dan posfor pada tanah. Selanjutnya dikatakan bahwa abu sekam dapat meningkatkan silikat,
kalium, dan posfor pada gabah, jerami, dan akar.
Menurut
laporan Soepardi (1990) bahwa cara lain agar posfat tersedia bagi tanaman ialah
dengan memberikan hara lain, agar tanaman mampu menyerap posfat atau tanah
tidak mengikat posfat. Pemberian
silikat, kalsium atau magnesium dapat mengurangi daya ikat posfat tanah. Silikat bersaing untuk tapak ikatan. Karena ia merupakan anion bermuatan negative yang
lebih besar dari ion posfat, dia mampu mendepak keluar dari keterikatan oleh
tanah.
Menurut
Bohn (1979), bahwa larutan silikat adalah dalam bentuk H4SiO4. Jadi ionisasi dari silikat ini adalah
sebagai berikut :
H4SiO4 H+ + (H3SiO4)-
Sedangkan
ionisasi unsur Fe adalah :
O O
Fe Fe
O O + OH-
Fe Fe+
HO OH HO
Selanjutnya
penambatan/fiksasi posfat oleh unsur Fe menurut Hakim et al (1986) adalah
sebagai berikut :
O O
Fe Fe
O +
H2PO4- O + OH-
Fe Fe
HO OH HO H2PO4
Maka ilustrasi untuk
persaingan tapak ikatan antara ion posfat dengan ion silikat adalah sebagai
berikut :
O O
Fe Fe
O + (H2SiO4)- O + H2PO4-
Fe Fe (tersedia)
HO H2PO4 HO H3SiO4
(tidak tersedia)
Karena ion silikat mempunyai kemampuan lebih besar untuk
berikatan, sehingga silikat mampu bersaing dengan posfat dalam menempati tapak
ikatan. Ini sesuai dengan pendapat Lubis
(1989) bahwa ion silikat mempunyai kemampuan yang besar berikatan (diadsorpsi)
jika dibandingkan dengan ion posfat, karena hal ini sesuai dengan deret
lyotropik yang dikemukakan oleh Bolt (1976), sebagai berikut :
SiO4-4 PO4-3
SO42- NO31- ≈ Cl1-
Dugaan ini juga diperkuat oleh Sigit (1984), bahwa
silikat mempunyai peranan dalam melarutkan posfat. Selanjutnya dikatakan, sehubungan dengan
fenomena pertukaran ion, silikat dapat membuat bentuk-bentuk posfat tertentu
yang dapat dicerna oleh tanaman.
2.3 Pupuk Kandang Sapi Sebagai Sumber Bahan Organik dan Hara
Pupuk
kandang sebagai salah satu bahan organik merupakan pupuk yang berasal dari
kandang ternak baik berupa kotoran padat bercampur sisa makanan maupun air
kencing ternak (Lingga, 1991). Sutedjo dan Kartasapoetra (1992)
menyatakan pupuk kandang dapat menambah tersedianya bahan makanan (unsur hara)
bagi tanaman yang dapat diserap dari dalam tanah. Selain itu, ternyata pupuk
kandang mempunyai pengaruh yang baik terhadap sifat fisika mendorong
perkembangan jasad renik tanah. Dengan kata lain, pupuk kandang mempunyai
kemampuan mengubah berbagai faktor dalam tanah sehingga menjadi faktor-faktor
yang menjamin kesuburan tanah. Ditambahkan oleh Soepardi (1983) bahwa pemberian
pupuk kandang juga merupakan salah satu cara untuk mencegah kehilangan unsur
hara dari pencucian, dimana pupuk kandang akan bertindak sebagai pengabsorbsi
kation yang dapat diambil tanaman.
Menurut Sutedjo dan
Kartasapoetra (1988) pupuk kandang dapat dikatakan sebagai pupuk lengkap di
samping unsur N, P, dan K sebagai unsur makro utama juga mengandung Ca, Mg, dan
S sebagai unsur makro sekunder dan sejumlah kecil unsur mikro seperti Mn, Cu,
dan B. Akan tetapi, pemanfaatan pupuk kandang sebagai sumber hara yang tersedia
harus mengalami dekomposisi yang sebagian besar harus dilakukan oleh aktifitas
mikroorganisme tanah.
Atmojo (2007)
melaporkan bahwa kotoran sapi
padat mengandung 1,1-1,5 % N, 0,5 % P, dan 0,9 % K. Kotoran sapi berbentuk cairnya
mengandung hara 1 %
N, 0,50 % P, dan 1,50 % K. Namun apabila pupuk kandang
ini digunakan untuk pemupukan, ketersediaanya hara dalam tanah yang bisa digunakan tanaman
sangat bervariasi, yang tergantung oleh faktor: (a) sumber dan komposisi pupuk kandang, (b) cara dan
waktu aplikasi, (c) jenis tanah dan iklimnya, dan (d) sistem pertaniannya.
Pupuk kandang mempunyai
3 fungsi terhadap perbaikan kesuburan tanah yaitu: (1) dapat menambah kesuburan
tanah dengan tambahan kadar humus atau bahan organik tanah, (2) dapat
memperbaiki sifat fisika tanah dengan memantapkan struktur tanah, dan (3) dapat
memperbaiki kehidupan jasad renik dalam tanah (Soedjianto dan Sianipar, 1980). Menurut Satyamidjaja dan
Rinsema (1983), pemberian pupuk kandang sebagai perbaikan kesuburan tanah
dipengaruhi oleh jenis hewan, komposisi utama makan hewan, jumlah dan jenis
alas kandang, serta cara pengelolaan pupuk kandang.
Pupuk kandang sapi
merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air dan lendir sehingga menjadi
berkerak dan keras bila terpengaruh udara. Selanjutnya air tanah dan udara yang
akan melapukkan pupuk tersebut menjadi sukar untuk menembusnya. Dalam keadaan
demikian peranan jasad renik untuk mengubah bahan-bahan yang terkandung dalam
pupuk menjadi zat-zat hara yang tersedia dalam tanah mengalami hambatan dan
perubahannya berlangsung secara perlahan. Pada perubahan ini kurang sekali
terbentuk panas, dan keadaan ini mencirikan bahwa pupuk kandang sapi merupakan
pupuk dingin, sehingga pemakaian atau pembenamannya ke dalam tanah dilakukan
tiga atau empat minggu sebelum masa tanam (Sutedjo, 1992).
Rinsema (1983) memberi
batasan, bahwa pupuk kandang dapat dibedakan atas pupuk kandang segar dan pupuk
kandang matang. Pemakaian pupuk kandang matang lebih cepat melapuk dalam tanah
sehingga waktu pemakaiannya dapat dibedakan dengan pemakaian pupuk kandang
segar. Lingga (1991) menambahkan bahwa
pupuk kandang siap dipakai bila tidak lagi terjadi penguraian oleh jasad renik,
tidak tercium lagi bau amoniak, bentuknya sudah berupa tanah gemmbur bila
diremas, dan nampak kering berwarna coklat tua.
Kelebihan pupuk kandang
dibandingkan dengan pupuk buatan adalah karena kandungan bahan organik yang
tinggi berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah (Sarief, 1985). Sedangkan
menurut Buckman dan Brady tahun 1961 (cit.
Hakim et al., 1986) pupuk kandang
juga mempunyai kekurangan yaitu lambat bereaksi karena sebagian besar zat-zat
makanan harus mengalami perubahan sebelum dapat diserap tanaman.
2.4 Padi Sawah dan Pertumbuhannya
Padi (Oriza sativa L.) termasuk famili Graminae (poaceae) sub famili
Orizadae, genus Orizae. Yang
dibudidayakan adalah spesies Oriza sativa
L di Asia dan Oriza glaberina steama di
Afrika. Beberapa pihak menyebutkan bahwa
tanaman padi berasal dari China, karena ditemukan beberapa jenis padi
liar. Tetapi ada juga yang menyebutkan
bahwa India sebagai daerah asal tanaman padi.
Padi adalah tanaman yang unik karena dapat tumbuh pada tanah yang
tergenang maupun tanah yang kering.
Dinamika hara pada kedua sistem ini berbeda. Disamping unsur Nitrogen, tanaman padi
membutuhkan Phospor dan Kalium (Wikipedia Indonesia,2010).
Tanaman padi termasuk golongan
tanaman setahun atau semusim. Tanaman padi dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, melalui beberapa fase pertumbuhan yaitu : (1) fase vegetatif
cepat, mulai dari pertumbuhan bibit sampai jumlah anakan maksimum, (2) fase
vegetatif lambat, mulai dari jumlah anakan maksimum sampai keluarnya anakan
malai dan (3) fase reproduktif, mulai dari fase keluarnya bunga sampai saat
panen. Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik dan berproduktivitas tinggi akan
sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan tanah, dimana akan berkaitan dengan
ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang optimal bagi
pertumbuhannya (Aksi Agraris Kanisius, 1990).
Umur tanaman padi berbeda-beda
menurut varietasnya dan keadaan iklim tempat dimana dia tumbuh. Di Indonesia
umur padi berkisar antara 120 sampai 210 hari. Secara garis besar masa
pertumbuhan tanaman padi dibagi atas 2 periode utama yaitu periode pertumbuhan
vegetatif dan periode pertumbuhan generatif. Periode vegetatif dimulai saat
berkecambah sampai pembentukan primordial bunga yang ditandai denga bertambah
banyaknya anakan/tunas. Sedangkan periode generatif yaitu periode mulai
primordial bunga sampai masak penuh, dimana pertumbuhan tanaman telah lengkap
yang ditandai dengan pembentukan malai (Darwis, 1979).
Menurut
Aksi Agraris Kanisius (1990), tanaman padi dapat tumbuh baik pada daerah yang
berhawa panas dan kelembaban tinggi. Di Indonesia padi ditanam di dataran
rendah sampai ketinggian 1300 meter dpl. Dengan tingkat curah hujan yang
dibutuhkan sekitar 1500 – 2000 mm/tahun. Curah hujan yang cukup akan membawa
dampak positif dalam pengairan, sehingga genangan air yang diperlukan tanaman
padi dapat tercukupi.
Tanaman padi dapat hidup baik
didaerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang
baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih,dengan distribusi selama 4 bulan,
curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1500 – 2000 mm. Suhu optimal
untuk pertumbuhan tanaman padi sekitar 23o C. Tinggi tempat yang
cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0 – 1500 m diatas permukaan laut
(Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, 2008 ).
Tanaman padi mampu memanfaatkan
tanah tergenang, karena akarnya memperoleh oksigen dari udara melalui aerenkim
dan rongga udara dalam tanaman (Situmorang dan Sudadi, 2001). Penggenangan
untuk tanaman padi sawah menimbulkan perubahan pada tanah sawah yang
mempengaruhi proses kimia, biokimia, dan ketersediaan unsur hara. Dalam leadaan
tergenang air menggantikan udara dalam pori tanah,kecuali di lapisan tipis di
permukaan tanah. Dalam keadaan demikian mikroba tanah menggunakan senyawa yang
mengandung O2 sebagai pengganti oksigen bebas untuk keperluan
respirasi yang menyebabkan tanah tereduksi. Keadaan anaerob ini akan
mempengaruhi ketersediaan unsur hara termasuk unsur hara Posfor.
III. BAHAN DAN METODA
3.1
Waktu dan Tempat
Penelitian ini direncanakan akan
dilaksanakan dari bulan Februari 2012 sampai Juni 2012 di Lahan Sawah Penduduk, di Limau
Manis Padang. Dilanjutkan dengan analisis sifat kimia tanah yang dilakukan di
Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Andalas,
Padang. Lamanya penelitian ini akan
berlangsung 5 bulan dengan jadwal penelitian yang dapat dilihat pada lampiran
1.
3.2
Bahan dan Alat
Sawah lokasi penelitian ini adalah
sawah intensif dengan varietas padi yang ditanam adalah padi varietas padi IR42
(lampiran 2). Bahan yang digunakan di lapangan adalah abu sekam, pupuk kandang,
pupuk NPK dan pestisida yang disesuaikan dengan jenis OPT yang ditemukan
dilapangan nantinya. Sedangkan alat yang digunakan adalah mencakup alat-alat
yang digunakan dilapangan seperti cangkul, bajak, dan parang serta alat-alat
dilaboratorium seperti timbangan, spektrofotometer, dan mesin pengocok. Secara
lengkap bahan dan alat ini disajikan pada lampiran 3 dan 4.
3.3
Rancangan Percobaan
Penelitian
ini akan dilaksanakan di lapangan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK)
dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Sebagai perlakuannya adalah perbedaan
takaran pemberian campuran abu sekam dan pupuk kandang, dengan perbandingan
campurannya adalah 1:1. Dimana komposisi takaran ini dihitung pada kadar air 14
%. Adapun perlakuannya
terdiri dari :
a. 2,5
ton/hektar (1,25 ton abu sekam + 1,25 ton pupuk kandang sapi)
b. 5
ton/hektar (2,50 ton abu sekam + 2,50 ton pupuk kandang sapi)
c. 7,5
ton/hektar (3,75 ton abu sekam + 3,75 ton pupuk kandang sapi)
d. 10
ton/hektar (5,00 ton abu sekam + 5,00 ton pupuk kandang sapi)
Gambaran lebih jelas
dapat dilihat pada lampiran 5 .
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Persiapan Lahan dan Penyemaian
Persiapan
lahan dimulai dengan pengolahan tanah menggunakan hand tractor atau bajak hingga
berlumpur, diairi, digenangi dan di garu supaya permukaannya rata dan dibuat
tempat untuk penyemaian benih. Kemudian dibuat petakan dengan ukuran lebih
kurang 4 m x 5 m dengan masing-masing petakan pada bagian pinggir pematangnya
akan dibuat saluran sedalam lebih kurang 5 cm dimana alirannya ke masing-masing
petakan berlawanan antara aliran air masuk dan keluar. Hal ini bertujuan untuk
memperlancar proses pengairan yang dilakukan secara intermitten
(berselang-seling). Penyemaian dilakukan sebelum benih padi ditanam disawah.
Padi di semai seperti yang dilakukan oleh petani setempat selama kira-kira 21
hari.
3.4.2 Pemberian Perlakuan
Pemberian
campuran abu sekam dan pupuk kandang dilakukan seminggu setelah
pelumpuran. Dimana setelah abu sekam dan
pupuk kandang yang telah sesuai dengan takaran komposisinya yaitu 1:1
dicampurkan secara merata diatas plastik selanjutnya ditebarkan secara merata
ke masing-masing plot perlakuan dan diaduk dengan garu bolak-balik agar
campuran abu sekam dan pupuk kandang homogen dengan tanah sawah. Artinya
campuran abu sekam dan pupuk kandang terdistribusi secara merata hingga lapisan
bawah tanah sawah bersamaan dengan lumpur-lumpur tanah sawah tersebut. Setelah
itu tanah sawah diinkubasi selama seminggu.
3.4.3 Penanaman dan pemupukan
Setelah
lahan dipersiapkan dan diberi perlakuan serta benih berumur 21 hari, kemudian dilakukan penanaman dengan
jarak 20 cm x 20 cm dengan jumlah bibit 5 bibit per lubang (sesuai dengan yang
dilakukan petani setempat). Selanjutnya dilakukan pemupukan dengan dosis yang
akan diberikan sesuai dengan rekomendasi petani setempat yaitu: Urea 200 kg/ha
akan diberikan dalam 2 tahap yaitu 50% diberikan sehari sebelum tanam dan
sisanya diberikan saat tanaman berumur 40 hari, SP-36 100 kg/ha dan KCl 75 kg/ha
akan diberikan dalam satu tahap yaitu satu hari sebelum tanam.
Pada
saat dilakukan pemupukan, aliran air kedalam sawah dihentikan sementara
sehingga pada waktu pemupukan tanah berada pada kondisi agak basah. Tujuannya
agar pupuk yang diberikan tidak hanyut bersama aliran air. Cara seperti ini
juga dilakukan oleh petani setempat.
3.4.4
Pengairan
Pengairan
yang diterapkan adalah intermitten. Yaitu setelah tanam, tinggi air dipertahankan hingga
kira-kira setinggi 5-10 cm, setelah itu dibiarkan menyusut hingga kering,
setelah kering untuk beberapa hari,maka diairi kembali. Pelaksanaan ini
disesuaikan dengan kondisi kebutuhan airnya.
3.4.5
Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan meliputi
:
(1) Penyiangan
Gulma
Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali, pada
umur 21 hari dan 45 hari atau bila ada gulma
yang mengganggu. Gulma disiangi dan
dibenamkan kedalam tanah
(2) Pemberantasan hama dan penyakit
Dilakukan penyemprotan dengan pestisida yang
sesuai bila diperlukan.
3.4.6 Panen
Panen
dilakukan setelah kriteria panen tercapai yaitu padi telah menguning, bulir 85%
telah masak dan bulir bila ditekan terasa padat. Panen dilakukan dengan pengambilan
keseluruhan tanaman, dengan cara bagian atas tanaman dipotong kira-kira 2 cm
dari permukaan tanah. Sedangkan tanah
bekas perlakuan atau setelah tanaman dipanen diambil untuk analisis sifat kimia
tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit, pada
masing-masing petakan sebanyak 250 g pada kedalaman lebih kurang 20 cm.
3.5 Pengamatan
3.5.1 Analisis Tanah
Analisis tanah terdiri dari tiga
tahap. pertama analisis tanah sebelum perlakuan (sebelum inkubasi), kedua
sesudah perlakuan (setelah inkubasi), dan yang terakhir adalah diambil pada
saat sehari setelah panen. Dalam setiap tahap ini sampel tanah diambil seberat
250 gram untuk setiap plot. Tanah dikering anginkan lalu ditumbuk dengan
lumping kemudian diayak dengan ayakan 250 mikron.
Setiap
sampel tanah yang di ambil akan dianalisis di laboratorium, yaitu meliputi
analisis P-tersedia ditentukan dengan
metoda Bray II, pH H2O (1:1) dan pH KCl (1:1) yang di ukur dengan pH
meter, serta kadar Ca, Mg dan K yang dapat ditukarkan dengan metoda pencucian
dengan ammonium asetat pH 7. Prosedur analisis secara rinci dapat dilihat pada
Lampiran 6.
3.5.2 Analisis Tanaman
a)
Bobot
kering gabah (kg/petak)
Bobot
kering gabah dihitung dalam kg/petak pada kadar air 14%, diperoleh dengan cara
diovenkan dan dihitung dengan rumus :
Bobot kering 14% = 100 - A
x B
100 - B
A = Berat
basah – Berat kering x 100%
Berat kering
Ket : A = kadar air saat penimbangan
B = berat gabah pada kadar air A
b)
Bobot
1000 butir gabah
Gabah diambil secara acak pada
setiap petakan yang masing-masingnya sebanyak 1000 buah kemudian ditimbang.
c)
Berat
jerami
Pada saat panen jerami pada
masing-masing petakan diambil dan ditimbang berat basahnya.
d)
Analisis
serapan P tanaman (biomassa tanaman)
Analisis
kandungan P tanaman dilakukan dengan cara mengambil sampel bagian tanaman
(batang + daun) dari masing-masing petak pada saat tanaman di panen. Sampel
tersebut dimasukkan ke dalam kertas dan amplop yang telah dilobangi dan
dimasukkan ke dalam oven selama 2 x 24
jam pada suhu 60o C atau sampai batas beratnya tetap.
Selanjutnya dipotong atau digerinder agar halus untuk dilakukan analisis.
Metoda dan prosedur analisis P tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 7.
IV. PERKIRAAN BIAYA
5.1 Di Lapangan
1. Sewa
Lahan Rp.
350.000,-
2. Pupuk
kandang Rp. 300.000,-
3. Abu
sekam
Rp. 150.000,-
4. Pengolahan
Lahan Rp.
800.000,-
5. Pupuk
Rp.
100.000,-
6. Benih
padi Rp.
100.000,-
7. Pestisida Rp. 50.000,-
8. Dokumentasi
Rp. 50.000,-
9. Karung
+ Tali Rp. 60.000,-
10. Cangkul Rp. 50.000,-
11. Kantong
Plastik + Label Rp. 100.000,-
Rp.
2.110.000,-
5.2 Di Laboratorium
1. Bahan
kimia Rp.
1.500.000,-
2. Kertas
Label dan Spidol Rp. 20.000,-
3. Kertas
Saring dan Tisu Rp. 50.000,-
4. Biaya
Laboratorium Rp. 50.000,-
Rp.
1.620.000,-
4.3 Pembuatan Laporan
1. ATK Rp. 50.000,-
2. Pembuatan
Proposal Rp.
100.000,-
3. Pembuatan
Skripsi Rp.
400.000,-
Rp.
550.000,-
Total
Biaya Rp. 4.280.000,-
Terbilang
: Empat Juta Dua Ratus Delapan Puluh
Ribu Rupiah.
DAFTAR
PUSTAKA
AAK. 1990. Budidaya Tanaman Padi.
Kanisius. Yogyakarta. 172 hal
Ahmad, Fachri. 1989. Asam Humat dan Ketersediaan
Posfor Tanah Sawah dan Tanah Kering. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas.
Padang.
Bohn, Hinrich.
Brian Mc Neal and George O’Connor.
1979. Soil Chemistry. New York Chichester. Brisbane. Toronto.
Burbey, H. S. Abdullah. Mawardi, E.
Taher, A. Imran. 2000. Tekhnologi P-starter solusi kelangkaan pupuk fospor.
BPTP Sukarami. Hal 1 – 11.
Darwis,
S.N. 1979. Agronomi Tanaman Padi. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian.
Perwakilan Padang. 73 hal.
Desnelly.
1991. Pengaruh pemberian pupuk TSP terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah
(Oryza sativa. L). Fakultas Pertanian Universitas Eka Sakti. Padang. 70
hal.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabaupaten Bantul. 2008. Budidaya Padi.
Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. 1988.
Pengkajian Status Hara Posfat di Lahan Sawah. Jakarta. 3 hal.
Hakim, Nurhajati. M.Y Nyakpa, A.M Lubis, S.G
Nugroho, M.R Saul, M.A Diha, G.B Hong, dan H.H Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu
Tanah. Universitas Lampung. Lampung. 488 hal
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT.
Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 220 hal.
Lembaga Penelitian Tanah. 1974. Kesuburan Tanah.
Lembaga Penelitian Tanah Bogor. Bogor. Hal 26-36.
Lubis A.M. 1989. Azas-azas Kimia Tanah. Jurusan
Tanah Fakultas Pertanian. Universitas Islam Sumatera Utara ; Medan.
Nyakpa, MY. A.M Lubis, M.A Pulung, A.G Amarah, A
Munawar G.B Hong, dan N Hakim, 1985. Kesuburan Tanah. Badan Kerja Sama Ilmu
Tanah BKS-PTN/USAID University of Kentucky. WUAE Project. 300 hal.
Pramono,J. 2008. Kajian Penggunaan Bahan Organik
Pada Padi Sawah.
Rinsema,
W. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bharata Karya Aksara. Jakarta. 235 hal
Rushadi. 1985. Pengujian pupuk P
pada tanaman di Indonesia. Dalam proseding lokakarya nasional penggunaan pupuk
P. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah Bogor.
Hal 406-421.
Sanchez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah
Tropika jilid 2. Hamzah, A. penerjemah ; Hadiwijoyo, P.S., penyunting. Bandung.
ITB. Terjemahan dari : Properties and Management of Soils in the Tropics, 1st
Edition. 303 hal.
Sarief, S. 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana Bandung. 196 Hal.
Sigit, Gunardi. 1984.
Pengaruh pemberian kotoran ayam dan abu sekam terhadap perubahan sifat kimia
tanah, pertumbuhan dan produksi padi gogo varietas tondano pada tanah podzolik
merah kuning jasinga. IPB. Bogor. 90 hal.
Soepardi, Goeswono. 1979. Masalah Kesuburan Tanah di Indonesia.
Departmen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 149 hal.
Soepardi, Goeswono. 1983. Sifat dan Ciri Tanah.
Departmen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 591 hal.
Soepardi, Goeswono. 1990. Siasat kecoh dalam
pemupukan posfat (Artikel). Jakarta. 277 hal.
Sumaryanto, dkk. 2001. Konversi Lahan Sawah Kepenggunaan Non Pertanian
dan Dampak Negatifnya. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Hal. 1-18.
Suriadikarta dan Hartatik. 2003. Peningkatan Produktifitas Lahan Sawah
Diluar Jawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Balai Penelitian
Tanah.
Taher,
E. Mawardi, A. Sahar, dan S. Abdullah. 1994. Penelitian pengembangan
pemanfaatan timbunan pada tanah sawah irigasi. Risalah Seminar Balittan
Sukarami.
Lampiran 1. Jadwal kegiatan Penelitian
No
|
Kegiatan
|
Bulan
|
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Mei
|
Juni
|
|
1
|
Persemaian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2
|
Persiapan Lahan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3
|
Pemberian Perlakuan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4
|
Penanaman
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5
|
Pemeliharaan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6
|
Pemupukan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7
|
Pemanenan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8
|
Analisis Sampel Tanah
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
9
|
Analisis Sampel Tanaman
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
10
|
Progres Report
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
11
|
Penulisan Skripsi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan :
Pemberian pupuk urea tahap ke-2
Lampiran
2. Jenis dan jumlah alat yang digunakan
di lapangan dan di laboratorium
No.
|
Nama alat
|
Jumlah
|
1
|
Cangkul
|
3 buah
|
2
|
Meteran
|
1 buah
|
3
|
Parang
|
1 buah
|
4
|
Kantong plastik
|
0,5 kg
|
5
|
Mesin bajak/traktor
|
1 unit
|
6
|
Ayakan
|
1 unit
|
7
|
AAS
|
1 unit
|
8
|
Alat destruksi
|
1 unit
|
9
|
Alat destilasi
|
1 unit
|
10
|
Buret dan standart
|
1 buah
|
11
|
Corong
|
7 buah
|
12
|
Eksikator
|
1 buah
|
13
|
Erlenmeyer
|
14 buah
|
14
|
Gelas ukur 100 ml dan 50 ml
|
21 buah
|
15
|
Gelas piala 250 ml
|
2 buah
|
16
|
Kertas tissue
|
4 gulung
|
17
|
Kertas saring
|
100 lember
|
18
|
Labu ukur 50 ml
|
5 buah
|
19
|
Labu kjeldhal
|
1 buah
|
20
|
Mesin pengocok horizontal
|
1 buah
|
21
|
Oven
|
2 buah
|
22
|
Pipet tetes
|
3 buah
|
23
|
Pipet gondok 25 ml,10 ml dan
5 ml
|
1 unit
|
24
|
pH meter
|
1 unit
|
25
|
Pengangas listrik
|
1 unit
|
26
|
Mesin grinder
|
1 buah
|
27
|
Spektronik
|
1 buah
|
28
|
Tabung film
|
20 buah
|
29
|
Timbangan analitik
|
1 buah
|
30
|
Cawan aluminium
|
21 buah
|
31
|
Tabung reaksi
|
21 buah
|
32
|
Alat-alat tulis
|
1 paket
|
Lampiran
3. Jenis dan jumlah bahan kimia yang
digunakan untuk analisis tanah dan tanaman di laboratorium
No
|
Nama
bahan
|
Jumlah
|
1
|
Aquadest
|
60 liter
|
2
|
Asam
sulfat pekat
|
600 ml
|
3
|
Asam
borat 4 %
|
1 liter
|
4
|
Asam
klorida pekat
|
200 ml
|
5
|
Amonium
florida
|
1 liter
|
6
|
Amonium
molibdat
|
600 ml
|
7
|
Amonium
asetat
|
1 liter
|
8
|
Asam
askorbat
|
60 ml
|
9
|
Asam
sulfat
|
100 ml
|
10
|
Asam
sulfat
|
200 ml
|
11
|
Asam
tartarat
|
25 g
|
12
|
1-amino
2-naftol 4-sulfanol
|
1 liter
|
13
|
Buffer
pH 7
|
1 ampul
|
14
|
Buffer
pH 4
|
1 ampul
|
15
|
Barium
chloride
|
500 g
|
16
|
Hydrogen
peroksida
|
200 ml
|
17
|
Indikator
Conway
|
200 ml
|
18
|
Kalium
dikhromat
|
100 ml
|
19
|
Kalium
antimonitrat
|
90 ml
|
20
|
Natrium
hidroksida
|
200 g
|
21
|
Natrium
hidroksida
|
1 liter
|
22
|
Natrium
bisulfate
|
10 g
|
23
|
Sakarosa
baku
|
30 g
|
24
|
Serbuk
selenium
|
50 g
|
Lampiran
4. Denah Penelitian
4 m
5 m
Keterangan :
1,2,3 = Ulangan
A = Perlakuan 2,5 ton/hektar (1,25 ton abu
sekam + 1,25 ton pupuk kandang)
B = Perlakuan5 ton/hektar (2,50 ton abu
sekam + 2,50 ton pupuk kandang)
C = Perlakuan 7,5 ton/hektar (3,75 ton abu
sekam + 3,75 ton pupuk kandang)
D = Perlakuan 10 ton/hektar (5,00 ton abu
sekam + 5,00 ton pupuk kandang)
Lampiran 5.
Prosedur Analisis Tanah di Laboratorium
1.
Penetapan P- tersedia dengan metode Bray II (Hakim, 2003)
Bahan : Pereaksi P-A , peraksi
P-B, pereaksi P-C, dan larutan
standart 50 ppm
Pereaksi P-A : (0,1 N HCl + 0,03 NH4F). Larutan ini
dibuat dari 11,1 g NH4F ditambahkan
16,64 HCl 6 N yang dilarutkan dalam 1 liter air bebas ion .
Pereaksi
P-B : Dilarutkan 3,8 gram NH4+
molibdat dengan 300 ml H2O pada suhu 60oC lalu dinginkan.
Larutan 5 gram H3BO3
dalam 500 ml H2O dan ditambahkan 75 ml HCL pekat. Kemudian
ditambahkan larutan NH4+
molibdat dan diencerkan menjadi 1 liter.
Pereaksi P-C : Dibuat dari serbuk pereduksi beku yaitu sebanyak 1,5 gram 1-amino 2-naftol 4 sulfonat, 5g Na2SO3
dan 146 g Na2S2O5 yang ditumbuk bersama-sama
dalam lumpang porselen. Larutan pereduksi dibuat dengan cara melarutkan 8 g
serbuk pereduksi 500 ml air panas. Biarkan selama 12 - 16 jam sebelum digunakan
Cara kerja : Sebanyak 1,5 gram tanah kering
angin dimasukan kedalam erlemeyer 50 ml, kemudian ditambahkan 15 ml larutan Bray II kocok selama 15 menit dengan mesin pengocok kemudian disaring. Hasil saringan dipipet
sebanyak 5 ml dan dimasukan ke dalam
tabung reaksi ditambahkan 5 ml larutan P-B, kocok dan ditambahkan 5
tetes larutan P-C serta kocok kembali. Setelah 15 menit ukur kepekatan P dengan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 600 µm.
Kalibrasikan hasil tersebut dengan kurva baku larutan penetapan blanko.
Pembekuan :
Dibuat sesuai deret larutan baku berkadar 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm P
dengan larutan 0,2185 g KH2PO4 (kering 40 o C ) dengan 1 liter
larutan Bray II. Pipet berturut-turut 0,
2, 4, 6, 8 dan 10 ml larutan standar 50 ppm P kedalam labu ukuran 100 ml, maka
didapat deret larutan yang dimaksud. Pipet 5 ml larutan baku dan dimasukan
kedalam tabung reaksi ditambah larutan P-B dan 5 tetes larutan P-C .
Perhitungan : P-Tersedia
(ppm) = P larutan x 15 /1,5 x 5/5 x KKA
2. Penetapan pH Tanah dengan pH
Meter (Bates,
R.G, 1954 cit International Institute
of Tropical Agriculture, 1990).
a.
Bahan
: Aquades, KCl 1N, Standar pH 4
dan 7
b.
Cara
kerja : Tanah sebanyak 10 g dimasukkan ke tabung film dan ditambahkan 10 ml
aquades. Dikocok 15 menit dengan mesin pengocok, kemudian diamkan
sebentar. Setelah itu lakukan pengukuran
dengan menggunakan pH meter yang dibakukan dengan larutan penyangga pH 4 dan 7
dengan prosedur yang sama dilakukan untuk 1N KCl (pH KCl).
3. Penetapan K, Ca, Mg dan Na
dapat ditukarkan dengan metode Pencucian Amonium Asetat (Jackson,
ML, 1962 cit International Institute
of Tropical Agriculture, 1990).
a.
Bahan : Amonium asetat pH 7 1N
b.
Cara
kerja :Ditimbang 5 gram contoh tanah lolos ayakan 2 mm diperkolasikan dengan
amonium asetat 1 N pH 7 sebanyak 100 ml ke dalam labu ukur 100 ml, sampai
volumenya menjadi 100 ml. Untuk
penetapan K, Ca, Mg tanah dilakukan pengenceran 10 kali (5 ml menjadi 50 ml),
kemudian ekstrak diukur dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) yang
telah distandarkan menurut jenis analisis yang telah dilakukan.
Perhitungan : Ca-dd
(me/100g) =
Perhitungan : K-dd
(me/100g) =
Perhitungan : Na-dd
(me/100g) =
Perhitungan : Mg-dd (me/100g) =
Lampiran 6. Prosedur Analisis
Tanaman di Laboratorium
1. Pembuatan
ekstrak tanaman (Santoso et al, 1983)
Bahan : H2SO4
pekat, H2O2 30% dan batu didih karborandum
Cara
Kerja : Sebanyak 0,25 g sampel tanaman yang telah halus dimasukkan ke dalam
labu ukur 50 ml, di tambah 2,5 ml H2SO4 pekat dan
kira-kira 25 mg batu didih karborandum, lalu dibiarkan semalam untuk
menghindari pembuihan yang berlebihan. Keesokan harinya dipanaskan selama
15 menit di atas penangas listrik,
semula pada suhu rendah kemudian suhu dinaikkan sedikit demi sedikit hingga ±
150o C. Setelah kira-kira 30 menit ditambahkan 5 tetes H2O2
30%, dalam selang waktu 10 menit. Pemberian H2O2 dilakukan
berulang-ulang sehingga cairan dalam labu ukur menjadi jernih. Selanjutnya
dipanaskan pada suhu kira-kira 250o C, sampai cairan yang tertinggal
± 2,5 ml. Larutan didinginkan dan disaring ke dalam labu ukur 50 ml, kemudian
ditambahkan aquadest sampai mencukupi 50 ml, maka didapat ekstrak tanaman
pekat. Larutan ini digunakan untuk penetapan N-total tanaman. Kemudian dipipet
5 ml larutan destruksi pekat dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu
diencerkan sampai tanda garis. Larutan ini dinamakan larutan encer yang
digunakan untuk penetapan P dan K tanaman.
2. Penetapan
Fosfor (P) tanaman (Santoso et al, 1983)
Bahan
: Asam sulfat 5 N, ammonium
molibdat 4 %, kalium antimonil tartarat, asam askorbat 0,1,
asam sulfat 0,15 N dan larutan standar 1000 ppm P.
Cara
kerja : Pipet cairan destruksi encer sebanyak 5 ml dan masukkan ke dalam tabung
erlemeyer 50 ml. Untuk penetapan deret standar P, dipipet masing-masing 5 ml
deret standar P ke dalam erlemeyer 50 ml. Deret standar yang mengandung 0 ppm P
yang digunakan untuk menyetel titik 100% T pada kolorimeter. Ditambahkan 20 ml
campuran pereaksi P dan dikocok. Setelah 15 menit diukur dengan kolorimeter
filter 693 mµ dan kuvet 1 cm. Deret standar P digunakan sebagai pembanding P dan
sampel. Mula-mula diukur deret standar P kemudian baru contoh. T (Transmitance)
dibaca pada kolorimeter
Perhitungan :
% P : 0,2 x ppm P dari kurva setelah koreksi blanko x KKA
Serapan P = % P x berat kering tanaman
(kg/petak)
Lampiran 7. Tabel kriteria
penilaian sifat kimia tanah
Sifat
Tanah *)
|
Nilai
|
Sangat
rendah
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Sangat
tinggi
|
P-tersedia (ppm) **
Ca-dd (me/100 g)
Mg-dd (me/100 g)
K-dd (me/100 g)
Na-dd (me/100 g)
|
< 5,00
< 2,00
< 0,40
< 0,10
< 0,10
|
5,00-14,00
2,00-5,00
0,40-1,00
0,10-0,20
0,10-0,30
|
15,00–39,00
6,00-10,00
1,10-2,00
0,30-0,50
0,40-0,70
|
40,00–60,00
11,00-20,00
2,10-8,00
0,60-1,00
0,80-1,00
|
> 60,00
> 20,00
> 8,00
> 1,00
> 1,00
|
pH tanah
|
Nilai
|
Sangat masam
|
Masam
|
Agak masam
|
Netral
|
Agak alkalis
|
Basa
|
pH
(H2O)
|
<
4,5
|
4,5
– 5,5
|
5,6
– 6,5
|
6,6
– 7,5
|
7,6
– 8,5
|
>
8,5
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran
8. Deskripsi Tanaman padi Varietas IR-42
Asal persilangan :
IR 2042/CR-94-13
Kelompok :
Padi sawah pasang surut
Umur Tanaman :
Cere
Bentuk Tanaman :
135 -145 hari
Tinggi Tanaman :
90 – 105 batang
Anakan produktif :
20 -25 batang
Warna kaki :
hijau
Warna batang :
hijau
Warna daun :
hijau tua
Permukaan daun :
Kasar
Posisi daun :
Tegak
Bentuk gabah :
Ramping
Kerontokkan :
Sedang
Kerabahan :
Tahan
Tekstur nasi :
Pera
Kadar amillosa :
27%
Bonot 1000 butir :
21,5 – 23,3 gram
Ketahanan terhadap :
Hama : tahan wereng coklat biotipe 1 dan
2.
Penyakit : tahan terhadap penyakit bakteri busuk dan busuk daun.
Sumber: Balai besar penelitian tanaman pangan (2011)